BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia dan menjadi suatu rangkaian yang erat
sepanjang kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut maka sejarah yang
akan dibahas dalam penulisan ini adalah yang berkaitan dengan kebudayaan,
terutama kebudayaan asing yang telah memberikan pengaruh dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan khususnya memberikan pengaruh pada pembentukan kebudayaan
Indonesia. Sejarah memberikan pelajaran dan pengalaman untuk manusia di masa
sekarang dan di masa yang akan datang.
Dari sejarah akan dapat diketahui
kegagalan dan keberhasilan yang dialami oleh manusia dan memberikan suatu
pedoman bagi manusia di masa yang akan datang untuk lebih berhati-hati dalam
melakukan segala sesuatu agar dapat mencapai keberhasilan dan peningkatan
kualitas kehidupan. Seperti yang dikatakan filsuf terkenal dari Cina, Kong Fu
Tse yang mengatakan “Sejarah mendidik kita bertindak bijaksana”. Kebudayaan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan yang majemuk dan
sangat kaya ragamnya. Perbedaan yang terjadi dalam kebudayaan Indonesia
dikarekan proses pertumbuhan yang berbeda dan pengaruh dari budaya lain yang
ikut bercampur di dalamnya.
Indonesia adalah bangsa yang sangat
besar, tetapi banyak masyarakat yang tidak tahu akan nenek moyang bangsa
Indonesia sendiri. Dengan semakin berkembangnya zaman, semakin banyak
masyarakat yang tidak perduli akan sejarah nenek moyangnya sendiri . Hal ini
mengakibatkan Sumber Daya Manusia di Indonesia masih di ragukan . berangkat
adri permasalahan ini, kami ingin membahas tentang Asal Usul dan Persebaran
Manusia di Kepulauan Indonesia .
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
asal-usul nenek moyang Indonesia?
2. Bagaimana
persebaran nenek moyang di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui asal-usul nenek moyang Indonesia.
2. Untuk
mengetahui persebaran nenek moyang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Nenek Moyang Bangsa
Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara
tempat ditemukannya manusia purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat
dilakukan berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang
belulang, baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang
usianya sekitar ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana
kehidupan manusia purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari
benda-benda peninggalannya yang biasa disebut dengan artefak.
Manusia purba yang ditemukan di
Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hamper sama dengan manusia
purba yang ditemukan di negara-negara lainnya di dunia. Bahkan Indonesia
dapat dikatakan mewakili penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerahpenemuan
manusia purba di Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa.
Penemuan fosil manusia purba di
Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah satu jenis
manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir memiliki kesamaan dengan
yangditemukan di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang manusia purba di
Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19 para sarjana dari luar
meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama yang meneliti manusia
purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang
dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di
Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia.
Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E.
Dubois menemukan fosil yang ia beri nama PithecanthropusErectus di
dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi
(Madiun). E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada tahun
berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan sebuah
geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa meter dari situ
ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri.
Untuk membedakan apakah fosil itu,
fosil manusia atau kera, E.Dubois memperkirakan isi atau volume otaknya. Volume
otak dari fosil yang ditemukan itu, diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki
volume otak lebih dari 1000 cc, sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600
cc. Jadi, fosil yang ditemukan di Trinil merupakan makhluk di antara manusia
dan kera. Bentuk fisik dari makhluk itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan
ada yang menyerupai manusia. Oleh karena bentuk yang demikian, maka E. Dubois
memberi nama Pithecanthropus Erectus artinya manusia-kera yang
berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus =
manusia, erectus = berjalan tegak). Jika makhluk ini kera,
tentu lebih tinggi tingkatnya dari jenis kera, dan jika makhluk ini manusia
harus diakui bahwa tingkatnya lebih rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum menemukan fosil tempurung
kepala (cranium) dan tulang paha tengah(femur), Dubois
memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar teori
tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk
meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing
link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi perkembangan
ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih berada dalam kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois
yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna.
Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing link, yang
menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya “java
man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia
purba di Sangiran (Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di
Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun
dibanding temuannya.
Selain itu, ada kesalahan teori Dubois
mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat sebanding dengan peningkatan
ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil “java man” sekitar 700 cc,
kurang lebih setengah dari volume otak manusia modern yang sekitar 1.350 cc.
Teori tersebut runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan penghitungan
yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada
kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc.
“Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing link kera-manusia,
ia lebih tepat disebut manusia purba. Penemuan fosil manusia purba yang telah
dilakukan oleh Dubois pada akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya
yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan
upaya penyelidikan dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di
daerah Trinil (Jawa Timur). Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak
berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah
berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan
dukungan untuk menggambarkan lingkungan hidup manusiaPithecanthropus.
G.H.R von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun 1936
sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936 Koenigswald
menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi tengkorak
tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun. Kemungkinan
tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus Erectus,
tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis. Pada
tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan bekas-bekas manusia
prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus lainnya.
Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui.
Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah
Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu
lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen
tengah) dan paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan jenis
manusia purba. Pithecanthropus Erectuspenemuan E. Dubois terdapat
pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen tengah.Pithecanthropus lainnya
ada yang di pleistosen tengah dan ada yang di pleistosen bawah. Di
plestosen bawah terdapat fosil manusia purba yang lebih besar dan
kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan
dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen
bawah terdapat pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus
Mojokertensis. Jenis Pithecanthropus memiliki
tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi
yang kuat dan menonjol. Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1
setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu
dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga
makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka
masih tinggal di padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan binatang
buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok. Pada
tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai Solo
juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar dan
kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak
kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak ada dagunya.
Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus. Makhluk
ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus (mega =
besar), karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakanhidup pada 2 juta
sampai satu juta tahun yang lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich
kembali menemukan sebelas fosil tengkorak pada tahun 1931-1934 di
dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan Solo. Sebagian dari jumlah itu
telah hancur, tetapi ada beberapa yang dapat memberikan informasi
bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu,tidak ada lagi tulang rahang dan
giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya ini merupakan
fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada Pithecanthropus
Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia.
Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia
dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah
tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri.
Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis manusia purba ini
tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan kira-kira 30 – 150 kg.
Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya masih menonjol. Dahinya
masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia
ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara
juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak
(Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan
jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari
batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan
menangkap binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang
buruannya setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan
dengan cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini
menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan
jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak penduduk
asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli
benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis termasuk
dalam golonganbangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia. Menurut von
Koenigswald, Homo Wajakensis seperti juga Homo
Solensis berasal dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali
sudah termasuk jenisHomo Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah
sempurna mirip dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat
meninggal. Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal
cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia
jenis Pithecanthropus juga ditemukan di belahan dunia lainnya.
Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina, di Cina
Selatan ditemukanPithecanthropus Lautianensis dan di Cina Utara
ditemukan Pithecanthropus Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup
berturut-turut sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika,
fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan di daerah
Tanzania, Kenya dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropus ditemukan
di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil
manusia Pithecanthropusyang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan
Cina.
Di Australia Utara ditemukan fosil yang
serupa dengan manusia jenis Homo Wajakensis yang terdapat di
Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah, dan
sebuah rahang atas dari manusia purba yang ditemukan di Australia itu sangat
mirip dengan manusia Wajak. Apabila menilik peta
Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa
pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh karena
itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan menggunakan
jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan untuk membuat
perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan
Australia.
Setelah masa penjajahan Belanda
selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh orang Indonesia sendiri.
Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini terutama dilakukan oleh
dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti lapisan-lapisan tanah. Seorang
dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada penyelidikan tersebut adalahProf.
Dr. Teuku Jacob. Dia memulai penyelidikannya di daerah Sangiran.
Penelitian ini kemudian meluas ke Bengawan Solo.
Zaman sebelum manusia mengenal tulisan
disebut zaman praaksara. Manusia tersebut, yaitu meganthropus, pithecanthropus,
dan homo. Jenis manusia tersebut belum bisa dipastikan asli Indonesia atau
pendatang. Berdasarkan keserupaan artefak
mesolithikum yang digunakan dengan artefak di Bacson-Hoabinh, dapat
diperkirakan bahwa mereka berasal dan Teluk Tonldn. (Bacson Hoabinh
terletak di Teluk Tonkin).
Menurut penyelidikan
para ahli, nenek moyang bangsa Indonesia bukan asli dari Indonesia. Jenis
manusia Homo Sapiens ini terbagi atas tiga subspesies atau ras.
1. Ras
Mongoloid: berkulit kuning, tinggi badan cukup, hidung menonjol sedikit (tidak
mancung, tetapi juga tidak pesek), menyebar ke Asia Tengah, Asia Timur, Asia
Selatan, dan Asia Tenggara.
2. Ras
Kaukasoid: berkulit putih, tinggi, badan jangkung, hidung mancung, menyebar di
Eropa dan Asia kecil (Timur Tengah).
3. Ras
Negroid: berkulit hitam, bibir tebal, rambut keriting, menyebar di Afrika,
Australia, dan Iran.
Hasil penyelidikan Von
Hiene Geldern tentang penyebaran kapak persegi, menyimpulkan bahwa jenis
manusia Homo Sapiens bukan asli dari Indonesia. Nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari daerah Campa, Cochin China, Kamboja,
dan daerah-daerah di sepanjang pantai di Teluk Tonkin. Sementara itu, kalau
dilihat dari pangkal kebudayaannya, mereka berasal dari wilayah Yunnan di
Tiongkok Selatan. Mereka termasuk rumpun bangsa Austronesia. Rumpun bangsa
Austronesia terdiri atas dua subspesies/ras, yaitu ras Mongoloid dan ras Austro
Melanesoid. Mereka inilah nenek moyang bangsa Indonesia sesungguhnya.
Berdasarkan jenis artefak yang
ditemukan, para ahli memperkirakan nenek moyang berasal dari Teluk Tankin yang
melakukan migrasi ke daerah lain.
Selain berasal dari Teluk Tankin, nenek
moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia yang berimigrasi ke Indonesia
yang menyebabkan manusia purba di Indonesia mengalami kepunahan. Jenis homo
waja kensis yang menjadi penghuni asli Indonesia yang menyebar kea rah Barat
dan timur. Mereka yang menyebar ke arah Barat dan Timur termasuk Austro
Melansoid, mereka menetap di Sumatera Timur. Dan yang arah Timur menetap di
Papua, kepulauan Kei, pulau Seram, dan Sulawesi Selatan. Adapun beberapa
pendapat para ahli mengenai asal-usul Nenek moyang Indonesia diantaranya
adalah:
1. Von Hiene Geldern
Menurut Von Hiene Geldern, penduduk bangsa
Indonesia sebelum nenek moyang masuk ke Indonesia adalah Homo Wajakensis. Homo
wajakensis yang tidak mau berasimilasi berimigrasi menuju ke Timur dan akhirnya
melahirkan penduduk Asia Australia.
2. Mandaline Coloni
Sebelum nenek moyang bangsa Indonesia
datang, di wilayah Indonesia sudah berpenduduk suku nagrito dan suku weddoit.
Kedua suku ini berasal dari Tonkin yang menyebar ke Indonesia dan pulau-pulau
di Pasifik.
Pada saat nenek moyang bangsa
Indonesia datang, suku nagrito sudah punah. Namun suku weddoit masih ada,
diantaranya suku Sakai di Siak, suku Kubu di Jambi, dan suku Kubu di Palembang.
3. H. Kern dan Hiene Geldern
Menurut H. Kein dan Hiene Geldern nenek
moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Pada mulanya nenek moyang
Indonesia bertempat di daerah Yunan (Cina Selatan) ke Selatan daerah Vietnam.
4. Prof. Dr. H. Kern
Ilmuwan asal Belanda ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia
berasal dari Asia. Kern berpendapat bahwa bahasa – bahasa yang
digunakan di kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia, Mikronesia
memiliki akar bahasa yang sama, yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan
bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa.
Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia menggunakan perahu-perahu bercadik
menuju kepulauan Indonesia. Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan
nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah Campa dengan di
Indonesia, misalnya kata “kampong” yang banyak digunakan sebagai kata tempat di
Kamboja. Selain nama geografis, istilah-istilah binatang dan alat perang pun
banyak kesamaannya. Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan P.W.
Schmidt berdasarkan perbendaharaan bahasa Campa.
5. Moh.
Yamin
Pendapat Moh. Yamin adalah bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari daerah Indonesia sendiri. Hal ini berdasarkan penemuan
fosil-fosil dan artefak manusia tertua di Indonesia.
B. Persebaran Nenek Moyang di
Indonesia
Homo erectus dan homo wajakensis pernah
tinggal dan hidup di Indonesia. Namun ada yang menduga bahwa kedua jenis
manusia purba tersebut bukan nenek moyang bangsa Indonesia.
Demikian pula dengan Austro Melanesoid yang juga diragukan sebagai nenek
moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan ciri-ciri fisik bangsa Indonesia terutama
yang tinggi di kawasan Timur yaitu Austro Melanesoid.
Ciri-ciri fisiknya
tinggi, berkulit agak gelap, hidung lebih mancung dan berambut keriting. Adapun
dugaan bahwa Austro Melanesoid sebagai nenek moyang bangsa Indonesia.
a. Keturunan
langsung dari homo wajakensis, dugaan tersebut didasarkan atas pewaris
ciri-ciri fisik ragawi.
b. Keturunan
protoaustroid yang berpindah di sekitar laut tengah dan pernah tinggal di India
sebelum bangsa Dravida. Persamaan ragawi dan bahasa mendasari dugaan. Jadi,
bangsa ini bukan asli Nusantara.
Nenek moyang bangsa Indonesia bukanlah
manusia-manusia jenis Meganthropus Palaeojavanicus, Pithecantropus Erectus,
Homo Soloensis, atau Homo Wajakensis. Walaupun terdapat di Indonesia,
manusia-manusia jenis itu sudah punah. Untuk mengetahui asal nenek moyang
bangsa Indonesia, kita dapat menggunakan dua cara, yakni persebaran rumpun
bahasa dan persebaran kebudayaan bercocok tanam.
1. Rumpun Bahasa Melayu
Austronesia
Bahasa yang tersebar di Indonesia
termasuk rumpun bahasa Melayu Austronesia. Rumpun bahasa ini meliputi wilayah
yang luas: dari Madagaskar di Afrika sampai ke Melanesia dan Polinesia di
Samudera Pasifik, lalu dan Taiwan sampai ke Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu
Austronesia di wilayah yang luas itu erat kaitannya dengan persebaran penduduk
yang menggunakan bahasa tersebut. Para pakar sejarah berpendapat bahwa bahasa Melayu
Austronesia berasal dari Taiwan. Sekitar 5000 SM, masyarakat di
Taiwan menggunakan bahasa yang disebut Proto Austronesia (Austronesia kuno).
Masyarakat di tempat itu
telah mengenal cocok tanam dan beternak. Masyarakat itu kemudian menyebar
ke sebelah selatan Cina, Vietnam, Semenanjung Malaya, lalu ke Indonesia. Ada
juga yang mengarungi laut menuju Filipina terus ke arah kepulauan di Indonesia
dan Samudera Pasifik.
2. Masyarakat Tani di
Yunan
Peralihan dan kebudayaan berburu dan
mengumpulkan makanan pada kebudayaan bercocok tanam
merupakan perubahan amat besar. Perubahan itu tidak mungkin dilakukan oleh
penduduk asli Indon esia yang sudah terbiasa dengan kehidupan berburu dan
mengumpulkan makanan. Para pakar sejarah menyimpulkan bahwa kebudayaan
bercocok tanam diperkenalkan oleh masyarakat pendatang. Mereka ini
sudah terbiasa dengan bercocok tanam dan beternak di tempat asalnya. Kebiasaan
itu mereka terapkan di tempat baru di Indonesia. Pendatang inilah yang menjadi
nenek moyang bangsa Indonesia.
Nenek moyang bangsa Indonesia ternyata
berasal dan luar Indonesia, yaitu dan daerah Yunan, di sebelah selatan Cina
(sekarang RRC). Kesimpulan tersebut dibuktikan oleh kesamaan artefak prasejarah
yang ditemukan di wilayah itu dengan artefak prasejarah di Indonesia. Dari
artefak yang ditemukan di Yunan, tampak bahwa sekitar 3000 SM, masyarakat di
wilayah itu telah mengenal cocok tanam.
Kemudian, masyarakat Yunan melakukan
migrasi ke daerah sekitar Teluk Tonkin, sebelah utara Vietnam. Di tempat itu
mereka mengembangkan kebudayaan bercocok tanam. Dari tempat itu,
mereka melakukan migrasi ke Kepulauan Indonesia. Migrasi dilakukan secara
bergelombang. Gelombang yang satu dengan yang berikut bejarak waktu lebih dan
1000 tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke
nusnatara melalui dua jalur yakni jalur barat dan timur.Migrasi jalur barat di
lakukan dari yunan ke semenanjung Malaysia, Kalimantan, menuju Jawa dan Nusa
Tenggara. Penyebaran jalur timur di mulai dari Teluk Tonkin menyusuru
pantai asia timur menuju Taiwan , Filipina, Sulawesi, Maluku, papua, sampai
australia . Mereka datang secara bergelombang, gelombang pertama adalah bangsa
prota melayu yang datang membawa kebudayaan kapak persegi dan kapal bercadik
satu. Gelombang kedua adalah bangsa deutro melayu yang datang membawa
kebudayaan kapak lonjong dan kapal bercadik dua.
Sebelum kedua bangsa melayu tersebut
datang ke nusantara da beberapa suku primitive yang sudah terlebih dahulu
menetap di nusantara.
Oleh karna itu saat bengsa melayu
datang ke nusantara meraka melakukan proses kawin mengawin dangan suku asli
yang sudah mendiami nusantara terlebih dahulu. Karna itu bangsa Indonesia
sekarang adalah turunan dari bangsa deutro melayu, prota melau, bangsa
Melanesia dan bangsa primitive yang dulu mendiami nusantara.
Dan padasaat itu keadaan geografis
Indonesia yang luas memaksa mereka untuk tinggal terpencar di seluruh wilayah
nusantara yang sangat luas. Sehingga mereka hidup sacara terisolasi dari suku
bangsa yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://fitrinuraenialhafidza.wordpress.com/2013/02/19/makalah-asal-usul-penyebaran-dan-pengaruh-nenek-moyang-bangsa-indonesia/
http://www.artikelsiana.com/2014/09/persebaran-nenek-moyang-bangsa-Indonesia.html#_
Mustafa Shodiq . 2006. Wawasan Sejarah 1
Indonesia dan Dunia. Solo : Tiga Serangkai
Mustopo Habib. 2007. Sejarah 1. Jakarta :
Yudhistira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar