BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam minggu pertama bulan oktober 1965
rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangakaian berita Radio Republik Indonesia
(RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkayt tertinggi
pemerintahan ibukota Jakarta.Pada hari jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara
berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00
pagi, memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota
Republik Indonesia, jakarta telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan
Darat”yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letkol Untung,
Komandan Bataliyon Cakrabirawa, pengawal pribadi Presiden Soekarno. Sejumlah
besar jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang penting-penting serta
obyek penting lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut dan “Presiden Soekarno
selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerakan tersebut ditujukan
kepada jendaral-jendral anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jendral.
Komandan Gerakan 30 Sepetember itu menerangkan bahwa akan dibentuk Dewan
Revolusi Indonesia ditingkat pusat yang dikuti oleh tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00 hari
itu juga memberitakan “Dekrit No.1 tentang Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia
dan keputusan No.1 tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia”. Baru dalam siaran
kedua ini diumumkan “Komando Gerakan 30 September”, yaitu Letkol Untung sebgai
komandan, Brigjend Supadjo, Letkol Udara Heru, Kolonel laut Sunardi, dan Ajun
Komisaris besar Polisi Anwas sebagai Wakil komandan.
Siaran kedua ini memuat dua keanehan.
Dari sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigjend menjadi wakil
seorang Letkol. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini ternyata bukanlah
sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat, oleh jarena dalam dekrit No.1
tersebut diumumkan bahwa : “untuk sementara waktu, menjelangpemilu MPR sesuai
dengan UUD 1945, Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber dari segala kekuasaan
dalam Negara Republik Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut,
maka penulis merumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana berkembangnya PKI di
Indonesia pada tahun 1950-1965?
2. Bagaimana aksi yang dilakukan PKI
melalui Gerakan 30 September di tingkat pusat?
3. Bagaimana tindakan yang diambil oleh
pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI?
4. Apa tuntutan massa dalam penumpasan
G30S/PKI?
BAB II
BERKEMBANGNYA PKI DI INDONESIA TAHUN 1950-1965
1. Tampilnya D.N. Aidit dalam
Kepemimpinan PKI, Tahun 1950
Alam demokrasi liberal yang berlangsung
di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan kesempatan kepada PKI untuk
mengadakan rehabilitasi walaupun sebelumnya partai komunis itu telah melakukan
pemberontakan. Alimin mengakifkan kembali PKI pada 4 februari 1950. Akan tetpi,
kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit
yang melarikan diri ke luar negeri akibat pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi
ke indonesia bersama M.H Lukman. Ketika mendarat di Tanjung Priok mereka
dibantu oleh Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah alias Sjam, yang pada saat itu
mempunyai kedudukan sebgai salah seorang pimpinan buruh di Pelabuhan Tanjung
Priok.
Tindakan pertama D.N. Aidit adalah
menyatukan kembali seluruh potensial partai. Setengah tahun kemudian D.N. Aidit
berhasil mengambil alih kepemimpinan PKI dan mengintensifkan propaganda
untuk merehabilitasi nama PKI dengan mengeluarkan “Buku Putih” tentang
pemeberontakan Madiun. Bahkan, Alimin menuntut pengadilan dan penguburan
kembali tokoh-tokoh PKIyang dihukum mati akibat pemberontakan PKI-Madiun,
tetapi hal ini ditolak oleh pemerintah RI.
Kepemimpinan D.N. Aidit menjadi semakin
kuat setelah tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto dan Sudisman, bergabung.
Pada bulan Januari 1951 CC(Comitt Central) PKI memilih politbiro baru yang
terdiri atas D.N Aidit, M.H Lukman, Njoto, Sudisman dan Alimin.
Pemimpin-pemimpin baru inilah yang kemudian berhasil membangun kembali dan
mengembangkan PKI. Politbiro ini menjalankan Strategi Front Persatuan Nasional[1].
Sampai awal tahun 1952 Politbiro CC PKI memusatkan perhatian pada
perumusan taktik utama, bentuk perjuangan dan bentuk organisasi yang kemudian
diikuti oleh PKI dalam tahun-tahun berikutnya.
Awal tahun 1951 DN Aidit jugsa
merehabilitasi Mohammad Jusuf (orang yang pernah maha dikutuk oleh orang-orang
komunis karena tindakan penyelewengan garis partai dengan melakukan
pemberontakann melawan Pemerintah RI di bogor pada tahun 1946.) kemudian pada
bulan agustus 1951 PKI menggerakkan kerusuhan-kerusuhan di kota Jakarta dan
Bogor. Di Bogor banyak penduduk yang menjadi korban. Kabinet Sukiman melakukan
penangkapan dan penggeledahan dirumah- rumah para pemimpin PKI. Oleh PKI
peristiwa penangkapan dan penggeledahan ini disebut “ Razia Agustus 1951” dan
dianggap sebagai provokasi pemerintah Sukiman dalam mencari alasan untuk
membubarkan PKI. Akibat tindakan pemerintah itu, sejumlah besar pimpinan PKI
menjadi tahanan politik dan sebagian kecil melarikan diri. Dalam operasi
penangkapan ini D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow,
sedangkan PKI melaksanakan gerakan bawah tanah.
Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke
Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan
Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”. Melalui konsep ini D.N.Aidit sekaligus
menegaskan jalan yang revolusioner di samping cara-cara parlementer.
Dengan berdasarkanMarxisme-Leninisme
dan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia sendiri, CC PKI di bawah
pimpinan D.N.aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya, yaitu
mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai berikut.
ü Membina front persatuan
nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan kaum tani.
ü Membangun PKI yang meluas di
seluruh negara dan mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya
terkonsolidasi di lapangan idiologi, politik, dan organisasi.
Dalam pelaksanaan membina font
persatuan nasional,PKI merasa perlu untuk membina apa yang mereka sebut borjuis
nasional[2] dan
borjuais kecil[3] kota
karena oleh PKI golongan-golongan ini dinilai sebagai sebagai golongan yang
tertekan oleh penghisap imperalis asing.Pembinaan kedua golongan ini amat
penting,di samping membina buruh dan tani. Namun,PKIdi bawah kepemimpinan D.N
Aidit menaruh perhatian yang besar kepada para tani untuk dapat dimanfaatkan
dalam mewujudkan konsep Demokrasi Rakyat. Dengan propaganda yang menarik
dilancarkan bahwa petani harus merdeka,memiliki tanah atau menyewa tanah ,dan
menerima upah dengan harga yang sesuai dengan yang di kehendakinya.
Selanjutnya,D.N.Aidit berpendapat bahwa desa adalah sunber bahan makanan,sumber
prajurit revolusioner,sebagai tempat menyembunyikan diri jika terpukul di
perkotaan,dan sebagai basis untnk merebut kembali perkotaan.
Dalam membangun PKI D.N.Aidit
mengatakan “ Kalau kita mau menang dalam revolusi,kalau kita mau mengubah wajah
masyarakat yang setengah jajahan menjadi Indonesia yang merdeka penuh, kalau
kita mau ambil bagian dalam mengubah wajah dunia, maka kita harus mempunyai
partai model partai komunis Uni Sofiet dan model partai komunis Cina”
Jadi, jelas disini bahwa titik tolak
strategi dan taktik PKI pada masa kepemimpinan D.N.Aidit ialah dengan memakai
model partai komunis Uni soviet dan model partai komunis Cina sekaligus,
disesuaikan dengan kondisi nyata di Indonesia.
2. PKI pada Masa Demokrasi Liberal, Tahun
1950-1959
Setelah D.N.Aidit memperoleh kesempatan
merehabilitasi PKI dalam alam demokrasi liberal,dia dan kawan-kawannya
mengambil kesimpulan bahwa untuk memperoleh kesempatan duduk dalam
pemerintahan, seperti pada masa sebelum pemberontakan PKI-Madiun, PKI perlu
mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang penting. Pada awal
tahun lima puluhan di Indonesia terdapat Partai besar, yaitu Partai Nasional
Indonesia ( PNI ) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia ( MASYUMI ). Menurut
jalan pikiran PKI, yang potensial dan harus didekati adalah PNI.
Ketika kabinet Sukiman jatuh pada
tanggal 23 februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual Security Asct ( MSA )[4] dengan
Amerika Serikat yang ditanda tangani oleh Menteri Luar Negeri Mr.Achmad
Soebardjo (Masyumi ), CC PKI mengeluarkan pernyataan politik yang pada
hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi.
Meskipun kemudian dalam kabinet baru yang dibentuk dibawah pimpinan Mr. Wilopo
( PNI ) ternyata terdapat pula menteri-menteri dari Masyumi, tetapi PKI tetap
menyatakan dukungannya walaupun kecewa karena Masyumi diikutsertakan.
Pernyataan dukungan PKI itu berisi
pembetitahuan kepada partai-partai pendukung kabinet bahwa PKI sedia mendukung
mereka dengan satu imbalan yang ringan, yaitu agar partai-partai politik
mengahpuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI beserta
organisasi-organisasi massanya ( ormas-ormasnya ). Upaya PKI tersebut beshasil
dan sejumlah pimpinan PNI mulai bekerja sama dengan PKI. Kerja sama itu
berpuncak pada usaha menjatuhkan kabinet Mr.Wilopo oleh PNI sendiri, meskipun
kabinet itu dipimpin oleh seorang tokoh PNI. Sebagai penyebabnya ialah
peristiwa Tanjung Murawa di Sumatra Utara, yakni insiden antara polisi dan
penyerobot tanah perkebunan milik Negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini
merupakan kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara,
Abdul hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem, yang kedua-duanya dari
Masyumi. Akhirnya, kabinet Mr.Wilopo jatuh.
Setelah kabinet Mr.Wilopo jatuh PKI
mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan kabinet baru sesuai dengan
Font Persatuan yang di dalamnya termasuk PKI, tetapi tanpa Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Krisis kabinet berlangsung agak lama dan beberapa
formatur telah menemuai kegagalan. Dalam pernyataan berikutnya, PKI meniadakan
tuntutanya untuk duduk di dalam kabinet baru. Setelah satu bulan, terbentuknya
kabinet baru dibawah pimpunan Mr.Ali Sastroamidjojo ( PNI ) dengan
menteri-menteri dari berbagai partai kecil, tetapi tanpa Masyumi dan PSI.
Kabinet ini disebut kabinet Mr.Ali Sastroamijojo 1. Dan pernyataan PKI setelah
mendukung kabinet itu disebutkan bahwa kabinet itu sebagai suatu “Kemenangan
gemilang daripada demokrasi terhadap fasisme[5]”.
Selama masa pemerintahan kabinet Mr.Ali
Sastroamijojo 1, PKI memberikan dukungannya secara gigih pada PNI. Walaupun
diketahui oleh umun bahwa kabinet tersebut tidak berhasil mengatasi kesulitan
ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, tetapi PKI tetap membela kabinet Mr.Ali
Sastroamijojo I. Setiap kali kabinet terrancam perpecahan dari dalam, PKI
mengadakan pembelaan yang keras untuk kabinet dan menyerang kelompok-kelompok
yang hendak menjatuhkannya.
Posisi PKI menjadi semakin mantap
berkat aglitasi dan propaganda D.N. Aidit yang intensif sehingga pada
Pemilihan Umum tahun1995 PKI berhasil mengumpulkan enam juta suara pemilih.
Dengan hasil yang dicapainya itu, PKI masuk salah satu dari empat besar setelah
PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama(NU). Meskipun PKI mendapat suara yang cukup
besar dalam Pemilu, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk
setelah pemilu tersebut.
Dalam suasana ysng kurang menguntungkan
bagi PKI tersebut, presiden Soekarno secara terbuka menyatakan keinginannya
agar PKI diikutsertakan dalam kabinet. Presiden Soekarno berpendapat bahwa PKI
perlu dikutsertakan dalam kabinet karena partai itu telah berhasil tampil sebagai
salah satu dari empat partai besar dalm pemilu. Akan tetapi, keinginan presiden
tidak terwujud karena kabinet yang terbentuk adalah kabinet koalisi antara
PNI-Masyumi-NU. Kabinet yang tersusun setelah pemilu ini dinamakan Kabinet Mr.
Ali Sastroamidjojo II. Walaupuin gagal, sikap Presiden Soekarno tersebut
telah banyak menolong PKI dalam proses perkembangan politik Indonesia
selanjutnya.
Keadaan yang dihadapi kabinet Mr. Ali
Sastroamidjojo II memang sulit, apalagi setelah Drs. Moh. Hatta mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada bulan Desember 1956.
Berpisahnya Dwitunggal Soekarno-Hatta[6] ini
merupakan perkembangan yang menguntungkan bagi PKI karena setelah itu PKI lebih
leluasa geraknya didalam upaya menarik Presiden Soekarno agar lebih dekat lagi
kepda PKI.
Kemenagan yang dicapai PKI dalam Pemilu
1955 sebagai hasil aglitasi dan propaganda D.N. Aidit sungguh sesuatu yang luar
biasa, jika diingat kembali bahwa tujuh tahun sebelumnya PKI pernah
mengkhianati perjuangan bagsa Indonesia. Dengan kemenangan itui, PKI berusaha
kembali untuk mewujudkan tujuan politiknya yang telah gagal mereka capai pada
tahun 1948, yakni membentuk negara lain masyarakat komunis yang sebenarnya
tidak dikenal dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
Untuk mencapai tujuan politik tersebut, PKI melakukan langkahnya dengan cara
menanamkan pengaruhnya diberbagai bidang kehidupan kenegaraan, bauki dibidang
ideologi, politik maupun dibidang militer.
Dibidang ideologi, PKI telah
melancarkan upaya perubahan yang mendasar terhadap pancasila. PKI berusaha
menggati sila pertama dari pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan
rumusan “kemerdekaan beragama”, seperti yang dikemukakan oleh Njpto dalam
sidang-sidang Konstutuante tahun 1958. Menurut PKI tidak semua masyarakat
Indonesia beragama monotheis, banyak di antaranya yang beragama politheis,
bahkan ada yang tidak berahgama sama sekali. Jelaslah bahwa sejak semula PKI
sudah berusaha untuk mengganti Pancasila denagn paham lain.
Dibidang politik dan milter, PKI
menyusun strategi politiknya dalam Kongres V yang diselenggarakan tahun 1954.
Strategi politik itu mereka sebut Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan
(MKTBP). Salah satu sasaran dari strategi ini adalah menanampakn paham
komunisme dikalangan anggota-anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI)sebgai kekuatan sosial politik yang menentang PKI.
Disamping berkembangnya pengaruh PKI,
ketidakpuasan yang melahirkan ketegangan-ketegangan politik terus meningkat.
Dengan alasan untuk menyelamatkan negara dan bagsa dari perepecahan, Soekarno
yang telah berhasil didekati oleh PKI melontarkan sebuah konsepsi yang
disampaikannya pada tanggal 21 Februari 1957 dalam pidatonya yang berjudul
“Menyelamatkan Republik Indonesia”, yang kemudian dikenal sebagai
“Konsepsi Presiden”. Dalam gagasan itu Presiden mengemukakan konsep politik
yang disebut Demokrasi terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut
Preisden mengusulkan pembentukan kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional, yang
didalamnya duduk wakil-wakil parpol dan semua golongan fungsional. Preiden
Soekarno menghendaki agar orang-orang PKI duduk dalam kabinet dan Dewan
Nsioanal tersebut walaupun beliau belum mengetahui bahwa banyak partai politik
yang tidak menyetujui gagasannya. Bagi PKI, keinginan Presiden Soekarno itu
sangat menguntungkan,. Oleh karena itu, PKI segera menyatakan dukunhgannya,
terutama mengenai pembentukan kabinet Gotong Royong dan pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin. Dengan terbentuknya pemerintahan koalisi nasional, dan melalui
pemerintahan koalisi nasional itulah akan dapat diwujudkannya Front
Persatuan Nasional, yaitu adanya organisasi-organisasi yang bersimpati dan
mendukung PKI.
3. PKI pada Masa Demokrasi Terpimpin,
Tahun 1959-1965
Konstituante hasil pemilu 1955 tidak
berhasil menyusun Undang-undang dasar baru sebagai Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS). Ketidakberhasilan itu disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat
yang tajam mengenai dasar negara di antara anggota-anggota konstituante. Untuk
mengatasi kemacetan di dalam Dewan Konstituante, Presiden Soekarno pada tanggal
5 Juli 1959 mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Isi dekrit presiden 5 Juli
1959 adalah sebagai berikut:
1. Bubarkan Konstituante
2. Belakunya kemabali UUD 1945 dan tidak
berlakunya UUDS 1950
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Penjelasan mengenai Dekrit Presiden 5
Juli 1959 tersebut disampaikan dalam pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita”, yang di ucapakan tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden Soekarno selanjutnya meminta
kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) agar isi pidato tersebut dirumuskan
menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang memimpin Panitia Kerja
Dewan Pertimbangan Agung itu adalah D.N. Aidit, ketua CC PKI. Kesempatan itu
dimanfaatkannya untuk memasukkan program-program PKI kedalam GBHN, yang
kemudian dikenal sebagai “Manifesto Politik (manipol) RI[7]”.
D.N. Aidit berussahaq memenfaatkan kedudukannya itu untuk merumuskan isi
manipol sesuai dengan thesis revolusi PKI, yaitu “Masyarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia (MIRI)[8]”
yang diruskan PKI tahun1957, dua tahun sebelum Presiden mengucapkan pidato
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Meskipun upaya PKI untuk mendominasi isi
manipol sesuai dengan konsep MIRI mendapat hambatan yang gigih dari tokoh-tokoh
anti komunis di DPA, namun konsep manipol akhirnya disetujui Presiden.
Keleluasaan PKI semakin bertamabah
ketika Presiden membentuk Front Nasional[9].
Pembentukan Front Nasional tersebut semula dimaksudkan sebagai penggerak
masyarakat, tetapi dalam kenyataannya menyimpang dri tujuan tersebut karena
badan itu menjadi sasaran penggarapan PKI untuk dibawa kedalam strategi Front
Persatuannya. PKI bersusaha membawa Font Nasional menjadi alat politiknya
dengan cara memanfaatkan organisasi-organisasi massa, yang menjadi anak
organisasi PKI atau yang sudah dipengaruhi PKI.
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba
kekuatannya untuk menghadapi TNI-AD dengan melancarkan kritik dan tuduhan
bahawa TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan
PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta). Bersama dengan dilancarkannya kritik dan tuduhan tersebut, PKI
melakukan pengacauan di beberapa daerah, seperti di sumatera Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pimpinan TNI-AD menilaia bahwa kritik
dan tuduhan itu adalah upaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya bukti
terjadinya kekacauan oleh PKI di beberapa daerah tersebut. Untuk itu, TNI-AD
melalui wewenagnya selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) menghentikan dan
memebekukan berbagai kegiatan PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang
sedang berlaku pada saat itu. Oleh Perpeda dilakuikan pula penangkapan dan
pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI, serta melarang media massa PKI terbit dan
beredar. Dan menyapaikan kepada preisden agar tidak percaya terhadap loyalitas
PKI, tetpai preisden tidak mengindahkannya, bahkan sebaliknya beliau
memperingatkan TNI-AD supaya fobi (perasaan takut terhadap sesuatu tanpa sebab
tertentu) terhadap PKI.
Keberhasilan PKI secara politik semakin
memperkuat PKI untuk memperbesar dan mancapai cita-citanya. Untuk memperoleh
perimbangan kekuatan, PKI melukan “ofensif manipolis[10]”,
Kemudian dirngkatkan menjadi “ofensif revolusioner[11]”,
yang ditujukan kepada semua kekuatan sosial politik yang tidak mereka senangi.
Selain itu, PKI berusaha pula merangkul golongan lain yang kiranya dapat
dijadikan “kawan”, Seperti Pertindo dan mensyusupi PNI melalui Ir.surachman,
yang ketika itu menjabat sebagai Sekjen DPP PNI.
Tahun 1964 intensitas ofensif
revolusioner PKI terhadap tokoh-tokoh politik yang dianggap sebgai lawannya
makin ditingkatkan. Secara intensif PKI melancarkan tuduhan kontra revolusi
terhadap lawan-lawan politik mereka. Posisi PKI semakin kuat dengan dibentuknya
kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964, yang didalamnya duduk beberapa
tokoh PKI Sebagai Menteri Koordinator (Menko) dan menteri. Pembentukan Komando
Tertinggi Retrooling[12] Aparatur
Negara ternyata sejalan dengan PKI, karena itu pembentukan ini mereka sambut
dengan tangan terbuka. Namun, ABRI tidak tinggal diam, dan terus mengawasi
gerak-gerik PKI. Bagi PKI tidak ada cara lain untuk kabur dari pengawasan
tersebut, kecuali dengan melancarkan fitnah dan kampanye menjelek-jelekkan
Jendral A.H. Nasution sebagai seorang tokoh ABRI yang dikatakannya ingin
menyabotase Nasakom.
Sementara itu, pada tahun 1963 tersiar
adanya dokumen CC PKI yang berisi program rahasia yang berjudul “Resume Program
dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Pragram itu berupa program jangka pendek yang
berisis penilaian situasi dan rencana aksi untuk mewujudkan tujuan akhir PKI.
Dokumen rahasia itu diketemukan oleh anggota Partai Murba. Oleh Wakil Perdana
Menteri III, Dr. Chaerul Saleh, seorang tokoh Partai Murba, dokumen itu
diserahkan kepada ketua umum DPP PNI, Mr. Ali Sastroamidjojo. Selnjutnya,
dokumen itu dipaparkan dalam sidang kabinet pada awal Desember 1964. PKI
membantahnya dan dengan berbagai dalih mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah
dokumen palsu, buatan kaum Trotskyst[13]yang
dibantu kaum Nekolim[14] berusaha
untuk menghancurkan PKI. Tersiarnya dokumen rahasia itu menyebabkan ketegangan
Politik makin meningkat karena partai-partai lain mencurigai OKI. PKI tetap
meyakinkan kepada Presiden bahwa dokumen itu palsu. Untuk meredam ketegangan,
Presiden memanggil para pemimpin partai ke istana Bogor dan memerintahkan
nmereka menyusun sebuah rumrusan menyelesaikan masalah persengketaan antar
partai. Pada tanggal 12 Desember 1964 sepuluh paarpol menandatangani sebuah
deklarasi yang disebut deklasi Bogor. Deklarasi itu drianggap sebagai cetusan
kebulatan tekad partai-partai dihadapan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.
Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi tersebut dan dengan
demikian masalahnya doianggap selesai.
Selama tahun 1964 itu dapat dicatat
sejumlah aksi yang dilakukan PKI, antara lain sebagai berikut :
1. Gerakan riset di kecamatan-kecamatan
untuk memastikan kekuatan apa yang oleh PKI disebut petani miskin.
2. Aksi yang menuntut penyitaan milik
inggris dan AS
3. Aksi menuntut retooling, tuntutan
penggantian pejabat yang anti PKI, dan aksi tunjuk hidung
4. Pengindonesiaan Marxisme
5. Aksi-aksi teror di berbagai daerah.
BAB III
AKSI G30S/PKI DI TINGKAT PUSAT
1. PKI Melaksanakan Tindakan Peningkatan
Situasi Ofensif Revolusioner, Tahun 1964-1965
Setelah penyusupan kader-kader PKI ke dalam
tubuh aparatur negara, termasuk ABRI, organisasi Politik, dan Oraganisasi
kemasyarakatanmencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai
melaksanakan kegiatan yang mereka sebut sebagai tahap ofensif revolusioner, hal
tersebut meliputi:
A. Sabotase, Aksi Sepihak dan Aksi Teror
Upaya PKI,untuk menciptakan suasana
revolusionr, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat,
juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak dan
teror.kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah:
1) Tindakan Sabotase terhadap
Transportrasis Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan kaum
Komunis terhadap sarana-sarana penting Pemerintah mulai terlihat sejak bulan
Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan langsung
masuk stasiun purwokerto, jawa tengah sehingga menabrak rangkaian gerbong yang
berhenti di stasiun tersebut. Tanggal 6 Februari 1964, kasus tabrakan antara
dua rangkaian Kereta Api juga terjadi di Kallyasa, Sala, Jawa Tengah. Pada
tanggal 30 April 1964, peristiwa yang sama terjadi di Kroya, Jawa Tengah.
Tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964 di
Cipapar, Jawa Barat.
Menyususul kemudian beberapa kasus
lepas dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian lokomotifnya di Tanah
Abang tanggal 18 agustus 1964, di Bandung tanggal 31 Agustus 1964,
Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian tanggal 18 Oktober 1964
di daerah yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus kecelakaan yang menimpa 20
rangkaian gerbong KA yang mengangkut peralatan Militer.
Dari hasil interogasi oleh aparat
keamanan menunjukkan bahwa kasusu-kasus yang terjadi merupakan tindakan
kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelaku adalah anggota
Serikat Buruh Kereta Api(SBKA) yang merupakan organisasi yang berada dibawah
naungan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
2) Aksi-Aksi Sepihak BTI (Barisan Tani
Indonesia)
Pada tanggal 23 Mei 1964, setelah
kegiatan HUT ke-44 PKI yang dilaksanakan di Semarang , ketua CC PKI D.N Aidit
serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang
terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba (Turun Kebawah) yang sekaligus
melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan bahwa petani di daerah
Jawa sangat miskin dan sangat potensial untuk digerakkan mendukung program PKI
melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di desa-desa.
Untuk dapat mempengaruhi para petani
tersebut, PKI berpura-pura membantu mereka dengan cara melakukan kampanye
penuntutan Undan-undang Bagi hasil tanah pertanian. Sejalan dengan kampanye
tersebut, untuk memepertajam pertentangan kelas sesuaia dengan doktrin
Marxisme-Leninisme. PKI mengkampanyekan pula sikap anti “Tujuh Setan
Desa” yaitu; tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukan ijon, kapitalis
birokrat (kabir), bandit desa dan pemungut/pengumpul zakat. Dalam melaksanakan
kampanye melawan “Tujuh Setan Desa”, PKI dengan gencar melakukan aksi massa dan
aksi sepihak secara sistematis dan terencana, aksinya antara lain:
1) Aksi
Massa BTI di Jawa Tengah
Kasus peratama yang mengawali aksi
massa oleh BTI[15] adalah
terjadinya konflik fisik anttara kurang lebih 1000 orang sesama petani di desa
Kingkang, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten pada tanggal 26 Maret 1964. Atas
hasutan tokoh-tokoh PKI setempat ratusan massa BTI melakukan pengeroyokan
terhadap seorang petani yang bernama Partosoekardjo sehubungan dengan sewa-menyewa
dengan Kartodimedjo.
2) Aksi
Massa BTI di Jawa Barat
Kemudian rentetan aksi BTI berikutnya
terjdi di area kehutanan milik negara di hutan Karticala dan tugu, kabupaten
indramayu. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1964 terjadi pengeroyokan dan penganiayaan
terhadap 7 anggota polisi kehutanan, yang menjaga perkebunan milik negara.
3) Aksi
Massa BTI di Jawa Timur
Pada tanggal 15 Januari 1965 terjadi
gerakan aksi massa yang dilakukan oleh BTI di desa Gayam, Kediri.sekitar 1000
orang anggota BTI menyerbu dan menganiaya seorang petani bernama Soedarno yang
sedang mengerjakan lahan sawahnya dengan alasan sawah yang dikerjakan oleh
Soedarno adalah sawah sengketa.
3) Aksi-aksi Teror
1)
Peristiwa Kanigaro Kediri
Tanggal 13 Januari 1965 sekitar pukul
04.30 massa anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat
Daerah Kediri, Soerdjadi, mengadakan terot denagn melakukan penyerbuan terhadap
para akytivis Pelajar Islam Indoneisa (PII) yang sedang mengadakan pelatihan
mental di desa Kanigoro, Kediri. Pada kesempatan itu PKI/PR melakukan pemukulan
dan penganiayaan terhadap para Kyai dan Imam masjid serta merusak rumah
ibadah bahkan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
2) Aksi
Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Awal Desember 1964 sejumlah massa
pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes kehadiran dan kegiatan
Kantor Penerangan AS, United States Information
Services(USIS) di seluruh indonesia. Dalam aksi massanya, mereka
menghancurkan perpustakaan USIS yang berada di Jakarta dan Surabaya. Pada
tanggal 11 Desember 1964, Wakil Ketua Umum Panitia Aksi Pembikotan Film Amerika
Ny. Oetami Soeryadarma menuntut agar American Motion Pictures
association Of Importers (AMPAI)dibuabarkan. Untuk
memperkuat tuntutan tersebut pada tanggal 28 Februari 1965 sejumlah massa
PKI berdemonstrasi didepan ksiaman Dubes AS, Howard P. Jones seminggu kemudian
Gerwani mengirim telegram kepada Presiden dan Menlu Dr. Soebnandrio agar
menyatakan Pesona non Gatra[16] terhadap
direktur AMPAI, Bill Palmer, dan sekaligus mengusirnya dari Indonesia.
Dua minggu setelah peristiwa di kantor
AMPAI Jalkarta, pada tanggal 1 April 1965 seluruh massa pendukung PKI menyerang
villa milik Direktur AMPAI di tugu puncak, Bogor meskipun Bill Palmer
tidak ada dikediamannya saat itu.
B. Agitasi dan Propaganda
Rangakaian aksi Massa PKI dalam rangka
menciptakan situasi ofensif revolusioner lebih di tingkatkan lagi melalui
aglitasi dan Propagandadengan tujuan untuk lebih membakar emosi massa. Dalam
upaya tersebut, PKI menggunakan unsur pers ysng sudah didominasi PKI, antara
lain Kantor Berita antara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Melalui
tokoh-tokoh utamanya, PKI membangkitkan semangat progresif revolusioner dengan
melakukan pidato-pidato di segala forum kegiatan, baik pemerintahan maupun non
pemerintahan.
Slogan politik tentang keterlibatan PKI
dan mewarnai kehidupan politik dimana-mana sehingga gamabaran apa yang di sebut
sebagai situasi ofensif revolusionerbenar-benar snagat mendominasi kohidupan
sosial-politik mkasyarakat saat itu. PKI juga memanfaatkan program pendididkan
kader revolusi dan kader Nasakom yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui
Front Nasional.
2. Aksi Fitnah Terhadap Pimpinan TNI-AD
tahun 1965
Setelah PKI secara politis berhasil
memperlemah lawan-lawannya, baik parpol, ormas maupun perorangan, maka
tinggallah satu kekuatan sebagai penghambat utama bagi pelaksanaan program
politiknya, yaitu ABRI, khususnya TNI-AD. Karenanya PKI menyusun konsep-konsep
kegiatan yang bertujuan melemahkan posisi pimpinan TNI-AD. Diantaranya dengan
melakukan fitnah politik yangditujukan kepada TNI-AD
Isu Dewan Jendral
Dalam rangka memperburuk citra TNI-AD,
PKI melancarkan isu Dewan Jendral. Isu ini disebarluaskan melalui
anggota0anggota PKI yang aktif bekerja dalam berbagai lingkungan. Agar isu
ytersebut sampai kepada Presiden, maka salah seorang anggota PKI yang duduk
dalam DPR-GR bernama Soedjarwo Harjowisastro memberikan isu tersebut sebagai
informasi kepada Kepala Staf BPI (Badan Pusat Intelijen), Brigjend Pol Soetarto
yang juga merupakan anggota PKI.
Dikatakan bahwa Dewan Jendral terdiri
atas sejumlah Jendral TNI-AD, antara lain Jendral TNI A.H. Nasution, Letjend
TNI A. Yani, Mayjend TNI Soeprapto, Mayjend TNI S. Parman, Mayjend TNI Haryono
M.T, Brigjend TNI Sutoyo S, Brigjend TNI D.I Pandjaitan, dan Brigjend TNI
Sukendro yang mempunyai sikap antipati terhadap PKI.
Isu Dewan Jendral terus dilakukan dalam
bentuk desas-sesus yang memperburuk citra TNI-AD, dan seolah-olah Dewan Jendral
adalah kelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada Presiden dan
mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden.
Oraganisasi-organisasi yang bernaung dibawah PKI digunakan sebagai sarana untuk
menyebar luaskan isu tersebut, dan mulai terdengar bulan Mei 1965.
Lingkup penyebaran isu Dewan Jendral
adalah sebagai berikut:
1. Penyebarluasan isu yang menyatakan
tentang adanya Dewan Jendral didalam tubuh TNI-AD yang mempunyai tugas
khusus memikirkan usaha-usaha dalam rangka menghadapi kegiatan yang bersifat
“kiri[17]”.
Dengan isu tersebut, PKI ingin menciptakan kesan bahwa TNI-AD merupakan
kekuatan yang bersifat “Kanan” yang anti PKI.
2. Diisukan bahwa Dewan jendral yang
disebut sebagai kekuatan kanan mempunyai tujuan yaitu meniklai kebijaksanaan
Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi. Pda lingkup ini PKI ingin memberi
kesan bahwa Dewan Jendral adalah sebuah badan dalam TNI-AD yang tidak dapat
dijamin loyalitasnya kepada BPR. Tujuannnya adaah menhgadu domba antar
TNI-AD dengan Presiden
3. Diberitakan Dewan Jendral
bekerjasama dengan imperalis, dalam rangka upaya PKI meyebarluaskan kesan
kepada masyarakat seolah-olah TNI-AD telah mengkhianati perjuangan rakyat
Indonesia. Isu ini semakin berkembang dengan tersiarnya “dokumen Gilchirst[18]”
pad bulan Mei 1965
4. Pada sekitar awal bulan september 1965
dilancarkan isu bahwa Dewan Jendral akan merebut kekuasaan dari presiden
Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah uang didatangkan ke
Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pad tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian,
untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai kebenarannya, PKI telah menciptakan
Isu Kabinet Dewan Jendral sebgai berikut:
1)
Perdana
Menteri
:Jendral TNI A.H. Nasution
2) Wakil
PM/Menteri Pertahanan : Letjend TNI A. Yani
3)
Menteri Dalam
Negeri
: Hadisubeno
4)
Menteri Luar
Negeri
: Roeslan Abdulgani
5)
Menteri Hubungan Dagang LN: Brigjend TNI Sukendro
6) Menteri
Jaksa
Agung
: Mayjend S. Parman
1. Dalam rangka menyiapkan Gerakan 30
September, biro khusus secara intensif mempengaruhi iknum-oknum anggota ABRI
yang telah dibinanya dengan Brifing-Brifing situasi politik, yang intinya :
1) Ada
Dewan Jendral yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden
2) Perlu
ada gerakan m iliter untuk mendahului rencana Dewan Jendral tersebut
Bentuk pengembangan isu Dewan Jendral
menjadi rencana matang akan adanya perwira-perwira yang berpikiran maju
mendahului rencana Dewan Jendral.
Isu Dokumen Gilchrist
Bersamaan dengan penyebarluasan isu
Dewan Jendral tersiar pula isu adanya Dokumen Gilchrist.
Gilchrist, yang bernama lengkap Sir Andrew Gilchirst adalah duta besar Inggris
di jakarta yang bertugas pada tahun 1963-1966. Dokumen
Gilchrist diterima oleh Dr. Soebandrio pada tanggal 15 Mei 1965
melalui pos jakarta berupa sebuah konsep surat ketikan tanpa adnya tanda tangan
atau paraf si pembuat melainkan hanyalah sebuah nama Gilchrist .
dalam surat pengantarnya dituliskan bahwa apa yang disebut surat Gilchrist itu diperoleh dari rumah
peristirahatan William (Bill) Palmer di
puncak sewaktu diadakan pengobrak-abrikan oleh massa atas rumah gtersebut.
Pada tanggal 26 Mei 1965 Dr. Soebandrio
membawa konsep Gilchrist serta beberapa
salinannya ke Istana Merdeka danm melaporkannya kepada Presiden. Segera setelah
membaca surat tersebut, presiden memerintahkan pemanggilan para panglima
Angkatan kedalam Istana Negar. Dalam pertemuan tersebut menaggapi pertanyaan Presiden,
Men/Pangad Letjend A. Yani menerangkan bahwa dalam AD tidak ada Dewan Jendral
yang bertugas menilai kebijaksanaan politik presiden; yang ada adala Dewan
Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) AD, yang bertugas memberikan saran
atau pendapat kepada Men/Pangad tentang jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi
AD.
Dalam pidatonya pada HUT PKI ke-45, Dr.
Soebandrio menyatakan bahwa dokumen imperialis/CIA telah jatuh ketangan kita
dan sekarang berada di tangan PBR(Pemimpin Besar Revolusi). Olehnya kemudian
salinan Dokumen Gilchrist itu kemudian dibagi-bagikan di
luar negeri, antara lain kepda delegasidelegasi yang hadir pad KAA II di
Aljazair, sedangkan didalam negeri salinan surat tersebut disebarluaskan
oleh BPI(Badan Pusat Intelijen). Sementara itu, HUT PKI dirayakan secara
besar-besaran dengan puncaknya pada rapat raksasa di gelora senayan tanggal 23
Mei 1965. Peringatan secara besar-besaran ini merupakan suatu pameran kekuatan
yang dilakukan ditengah suasana politik yang semakin memanas.
3. Aksi Bersenjata Gerakan 30 September
Pada Awal Oktober 1965
Di Jakarta, tanggal 1 Oktober 1965
sekitar pukul 01.30 letkol Inf. Untung dengan diikuti Sjam, Pomo,
Brigjend TNI Soepardjo dan Kolonel Inf. A. Latief tiba di lubang buaya. Ia
memberikan perintah pelaksanaan kepda semua komandan pasukan agar segera
berangkat menuju ke sasaran masing-masing yang telah ditetapkan.
Pembagian Tugas Pasukan Penculik
1.
Pasukan Pasopati
Tugas Pasukan Pasopati adalah menculik
para Jendral Pimpinan TNI-AD dan membawanya ke Lubang Buaya. Kekuatan
bersenjata yang tergabung dalam Pasukan Pasopati terdiri atas satu Batalyon
Infanteri (minus) dari Brigare Kolonel Inf. A. Latief, satu Kompi Cakrabirawa
dari Batalyon pimpinan Letkol Inf. Untung. Satu pleton dari batalyon infantri
pimpinan Mayor Inf. Sukirno/kapten inf. Kontjoro, dan pleton-pleton sukwan PKI
Lettu Inf. Dul Arief yang bertinfak
sebagai pimpinan pasukan Pasopasti segera mengumpulkan pasukan dalam formasi
yang telah ditentukan;
a) Pasukan yang ditugasi menculik
Jendral TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda Djahurup, anak buah letkol Inf.
Untung, dengan kekuatan satu kompi pasukan bersenjata dan stu pleton sukwan
PKI.
b) Pasukan yang
ditugasi Letjen TNI A. Yani di bawah Pimpinan Peltu Mukidjan, anak Buah
Kol.Inf. A. Latief, dengan kekuatan satu kompi pasukan bersebjata dan dua regu
Sukwan PKI
c) Pasukan yang ditugasi
menculik Mayjend TNI S. Parman di bawah pimpinan Serma Satar, anak buah Letkol
Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan PKI
d) Pasukan yang ditugasi menculik
Mayjend TNI Soeprapto dibawah pimpinan Serda sulaiman, anak buah Letkol Inf.
Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan PKI
e) Pasukan yang ditugasi
menculik Mayjend TNI Haryono MT dipimpin oleh Serma Bungkus, anak buah Letkol
Inf. Untug, dengan kekuatan satu pleton dan kelompok Sukwan PKI
f) Pasukan yang
ditugasi menculik Brigjend TNI Sutojo S. dipimpin oleh Serma Sarono, anak buah
Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan PKI
g) Pasukan yang ditugasi menculik
Brigjend TNI D.I Pandjaitan dipimpin oleh Serda Sukardjo, anak buah
Kapten Inf. kuntjoro, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok Sukwan PKI.
1. Pasukan Bimasakti
Kekuatan bersenjata yang dialokasikan
kepada Pasukan Bimasakti terdiri atas satu Batalyon Infanteri di pimpin oleh
Mayor Inf. Bambang Supeno, dan satu batalyon Infanteri yang dipimpinn oleh
Kapten Inf. Kuncoro, empat Batalyon sukwan PKI, dan satu Kompi Infanteri
pimpinan Kapten Inf. Suradi berasal dari Briginf pimpinan Kol.Inf A. Latief.
Pasukan ini bertugas pokok menguasai kota Jakarta yang telah dibagi menjadi
enam sektor, yaitu;
a) Sektor
Jakarta Pusat/kompleks istana Kepres
b) Sektor
Jatinegara
c) Sektor
Senen dan Kemayoran
d) Sektor
Tanjung Priok
e) Sektor
Kemayoran Lama
f)
Sektor Grogol
Sejak dini hari, jum’at tanggal 1
Oktober 1965 pasukan ini telah menduduki dan menguasai objek-objek penting di
sekitar Monas. Objek-objek yang penting dalam sarana komunikasoi juga
telah dikuasai seperti gedung RRI Jakarta dan Gedung Telekomunikasi Jakarta
Pusat
1. Pasukan Gatotkaca
Kekuatan bersenjata yang tergabung
dalam pasukan gatotkaca terdiri atas satu batalyon pimpinan Mayor Uadara
Soejono dan pasukan sukwan dan Sukawati PKI. Satuan ini berfungsi sebagai
pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil penculikan dan melakukan
pembunuhan serta menguburkan korban-korban hasil penculikan.
1. Aksi Penculikan
1) Usaha
Penculikan Terhadap Jendral TNI A.H. Nasution
Pasukan yang ditugasi menculik Jendral
TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda Djahurub dengan berkendaraan truk
berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00
menuju ke kediaman Jendral A.H Nasution di jalan Teuku Umar 40 Jakarta. Ketika
pasukan penculik melewati kediaman Dr.Leimena yang berdekatan dengan kediaman
Jendral A.H. Nasution yaitu di Jalan Teuku Umar 36 Jakarta mereka membunuh
pengawal yang bertugas di tempat kediaman Dr.Leimena yaitu Ajun Inspektur
Polisi Karel Satsuit Tubun.
Ibu Nasution ketika mengetahui ada
sejumlah orang bersenjata masuk secara paksa kedalam rumah, segera mengunci
pintu kamar dan memberitahu Jendral A.H. Nasution tentang datangnya orang-orang
berseragam yang mungkin bermaksud tidak baik. Beliau kurang yakin akan keterangan
isterinya itu dan segera membuka pintu kamar. Ketika melihat pintu dibuka,
anggota penculik segera melepaskan tembakan kearahnya, dan seketika itu beliau
menjatuhkan diri kelantai, dan isterinya cepat-cepat menutup dan mengunci kamar
kembali. Tembakan pasukan penculik diarahkan langsung ke daun pintu kamar.
Sementara itu, Ade Irma Suryani putri
bungsu mereka yang berumur 5 tahun oleh pengasuhnnya dilarikan keluar kamar
dengan maksud hendak diselamatkan, tetapi seorang penculik melepaskan tembakan
otomatis dan mengenai punggung Ade Irma Suryani. Jendral A.H. Nasution didorong
oleh isterinya untuk keluar dari kamar melalui pintu samping dan menuju ke
pagar tembok. Sambil menggendong Putri bungsunya yang terluka, Ibu Nasution
menghadapi para penculik yang sudah nberada diruang tengah. Dan dengan memanjat
dinding tembok samping rumah, Jendral A.H. Nasution berhasil melarikan diri.
Salah seorang ajudan Jendral A.H
Nasution, yakni Lettu Czi Pierre Andreas Tendean yang malam itu menginap di
paviliun, terbangun karena kegaduhan di luar kamar. Kemudian ia keluar kamar
untuk memeriksa apa yang terjadi, tetpi ia ditangkap oleh gerombolan penculik
dan diseret kesalah satu kendaraan. Setelahnya pasukan penculik itu
meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Lubang Buaya.
2)
Penculikan Terhadap Letjend TNI A. Yani
Pausukan yang bertugas menculik
Men/Pangad Letjend TNI A. Yani dipimpin oleh Peltu Mukidjan berangkat dari
Lubang Buaya pukul 03.00 tanggal 1 Oktober 1965. Setiba dirumah Latjend TNI
A.Yani di jalan Latuharhary 6 Jakarta, beberapa anggota penculik segera masuk
pekarangan rumah. Regu pengawal yang sama sekali tidak menaruh curiga atas
kedatangan mereka seketika itu dilucuti. Sebagian pasukan penculik menuju
kekediaman Letjend A.Yani dan mengetuk pintu yang dibukakan oleh seorang
pembantu, Isteri A. Yani malam itu sedang berada di kediaman resmi Men/Pangad
di Taman Suropati. Sementara puteri kedua Letjend A. Yani terbangun
mendengar adanya keributan, tetapi tidak berani keluar kamar. Yang keluar dari
kamarnya adalah putera beliau yang berumur 11 tahun, yang segera membagunkan
ayahnya, dan belaupun keluar dari kamarya.
Salah seorang anggota pasukan penculik
menyampaikan berita baahwa beliau dipanggil Presiden. Ketika beliau menjawab
bahwa hendak mandi dan berpakaian terlebih dahul, salah satu dari penculik
melarangnya sambil menodongkan senjatanya. Melihat sikap kuran ajar anggota
penculik tersebut beliau sangat marah dan memukulnya hingga jatuh. Beliau
membalik dan hendak menutup [pintu kaca yang menghubungkan ruang belakang
dengan ruag makan, tetapi seketika itu Serda Gijadi, salah seorang anggota
penculik menembakkan senjata Thompson dari belakan dan tujuh butir peluru
menembus tubuh Letjend A. Yani sehingga beliau terjatuh dan roboh. Praka
Wagimin menyeret Letjend A. Yani yang berlumuran darah keluar dari kediamannya
dan dimasukkan kedalam kendaraan, dan mereka kembali menuju kw Lubang Buaya.
3)
Penculikan Terhadap Mayjend TNI Soeprapto
Pasukan yang bertugas menculik Mayjend
TNI Soeprapto di pimpin oleh Sarda Sulaiman. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan penculik ini mamasuki halamn rumah
Mayjend Soeprapto di jalan Besuki 19, Jakarta dan mengetuk pintu. Beliau
terbangun dan setelah pasukan penculik menyatakan dari Cakrabirawa, beliau
keluar dari kamarnya dan membuka pintu. Diteras sudah menunggu beberapa
paasukan penculik. Serda Sulaiman mengatakan bahwa Mayjend Soeprapto
diperintahkan untuk menghadap presiden dengan segera. Oleh beliau diperintahkan
untuk menunggu karena akan berganti pakaian. Para penculik melarangnya dengan
kasar, bahkan mendorong serta memaksanya keluar. Beberapa orang penculik
memegangi tangannya dan menaikkannnya dengan paksa ke dalam sebuah truk.
Kemudian mereka kemabli menuju ke Lubang Buaya.
4)
Penculikan Terhadap Mayjend S. Parman
Pasukan yang bertugas menculik Mayjend
TNI S. Parman di pimpin oleh Serma Satar. Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1
Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan penculik ini mamasuki kediamannya di
jalan Samsurizal 32, Jakarta. Mereka memasuki pekarangan rumah dengan melompat
pagar. Karena keributan itu Mayjend S. Parman terbangun dan menduga ada
perampokan dirumah tetangganya. Beliau keluar kamar dengan maksud memberi
bantuan . ketika membuka pintu depan, diluar telah menunggu para paenculik yang
mengatakan bahwa beliau dipanggil oleh Presiden. Beliau mengattakan akan
memenuhi panggilan tersebut dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dua
orang penculik mengikutinyab dari belakang. Beliau minta agar mereka menunggu
di ruang tengah saja, tetapi mereka tidak mengindahkannya.
Ibu S. Parman mulai curiga akan tingka
laku mereka yang demikian kasar. Beliau menanyakan surat perintah panggilan
dari Iatana Presiden, seorang menjawab bahwa surat perintah tersebut ada pad Pelda
Yanto di luar. Usaha Ny. S. Parman untuk melihat surat printah tersebut tidak
berhasil. Karena surat peintah itu memang tidak pernah ada. Bahkan beliau
ditodong dengan sangkur. Dengan berpakaian lengkap Mayjend S. Parman kluar
kamar, sambil melangkah beliau meminta kepada istrinya agar menelpon
letjend A. Yani, untuk melaporkan kejadian tersebut. Ternayata kabel telepone
telah diputus. Mayjend S. Parman dimasukkan kedalam kendraan pasukan penculik
dan dibawa ke Lubang Buaya.
5)
Penculikan Terhadap Mayjend TNI Haryono MT
Pasukan yang bertugas menculik Mayjend
TNI Haryono MT di pimpin oleh Serma Bungkus. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. setibanya di kediaman Mayjend Haryono MT di
jalan Pramabanan 8, Jakarta. Serma Bungkus memberi tahu Ny. Haryono bahwa
Mayjend Haryono dipanggil oleh Presiden. Ny. Haryono yang tidak menaruh curiga
kepada mereka kemudian membangunkan Mayjend Haryono, beliau menaruh curiga dan
melaui Isterinya beliau meminta agar kembali lagi sektar pukul 08.00.Serma
Bungkus memaksa agar beliau berngakat pad malam itu juga. Kerena menyadari
sesuatu hal yng tidak wajar beliu meminta kepda isteri dan anak-anaknya pindaah
kekamar sebelah. Sementar itu Serma bungkus dan beberapa anggota penculik
berteriak-teriak meminta agar beliau keluar.
Kerena beliau tidak memenuhi permintaan
tersebut, mereka melepaskan tembakan ke pintu yang terkunci. Pintu terbuka dan
mereka memasuki kamar tidur. Pada saat beliau berusaha merebut senjata salah
seorang anggota penculik, tetapi gagal dan bersamaan denga itu beliau dtusuk
beberapa kali dngan sangkur. Beliau roboh bermandikan darah dan kemudian
diseret keluar dan dimasukkan kjedala truk lalu kemabli ke lubang buaya.
6)
Penculikan Terhadap Brigjend TNI Sutojo S
Pasukan yang bertugas menculik Brigjen
TNI Sutjoo di pimpin oleh Serma Surono. Berangkat dari Lubang Buaya Tanggal 1
Oktober 1965 pukul 03.00.. sebagian anggota penculik memasuki bagian belakang
rumah kediaman beliau di jalan Sumenep 17, Jakarta mlaui garasi sebelah kana.
Dengan todongan sangkur mereka meminta kepada pembantu untuk menyerahkan kunci
pintu yang menuju ke kamar tengah, setelah mmembuka pintu, penculik menerobos
masuk dan mngatakan kepada Brigjend Sutojo, bahwa beliau di panggil presiden,
kemudin para penculik membawa beliau dengan paksa keluar rumah dan membwanya ke
Lubang Buaya.
7)
Penculikan Terhadap Brigjend TNI D.I Pandjaitan
Pasukan yang bertugas menculik
Brigjend di pimpin oleh Serda Sukardjo. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. para penculik membuka pintu kediamannya
yang berada di Jalan Hasannudiin 53 jakarta dengan paksa, kemudian menembak
kedua keponkan beliau yang saat itu sedang tidur dilantai atas. Salah
seorang diatanratanya tewas, setelah itu para penculik berteriak memanggil
Brigjend D.I Panjaitan agar keluar untuk menghadap presiden. Semula beliau
tidak mau keluar, tetapi karena adanya ancaman dari para penculik yang akan
membunuh seisi rumah jika tidak mau keluar, maka beliau keluar dan menuruni
tangga dengan mengenakan pakaian seragam lengkap.
Setiba dihalaman, beliau tidak dapat
menahan amarahnya atas sikap para anggota pasukan penculik terhadapnya. Beliau
dipukul dengan popor senjata hingga jatuh. Pada saat itu juga dua orang anggota
penculik yang lain menembaknya dengan senjata otomatis.
D.I Panjaitan gugur pada saat itu juga
dan jenazahnya dimasukkan dalam satu kendaraan yang telah disediakan. Sementa
itu, seorang anggota polisi berpangkat agen polisi ( Bharada) Sukitman yang
sedang melaksanakan tugas patroli, karena mendengar letusan senjata api,
mendatangi tempat kejadian. Setibanya ditempat itu ia langsung ditangkap oleh
para penculik dan ikut dibawa pula ke Lubang Buaya.
1. Konsolidasi Pelaksanaan Penculikan
1. Penyerahan hasil penculikan
Seluruh korban penculikan dibawa ke
Lubang Buaya dan diserahkan kepada pasukan Gatotkaca. Lettu Inf. Dul Arief
selaku pimpinan Pasukan Pasopati segera meninggalkan Lubang Buaya sekitar pukul
06.30 menuju Cenko I di gedung Penas untuk melaporkan hasil penculikan serta lolosnya
Jenderal TNI A.H Nasution dari usaha penculikan tersebut. Hadir pada saat
pelaporan itu para pimpinan pelaksana Gerakan 30 September, yakni Sjam, Pono,
Kolonel Inf. A. Latief, Letkol Inf. Untung, Letkol Udara heru Atmodjo, Mayor
Udara Sujono.
Beberapa saat kemudian datang Brigjen
Soepardjo, Mayor Inf Soekirno, dan Mayor Inf Bambang Soepeno. Ketiga perwira
ini bersama Lettkol Udara Heru Atmodjo kemudian atas perintah Sjam berangkat ke
Istana Merdeka untuk melapor, menjemput, serta membawa presiden Soekarno
kepangkalan halim Perdana Kusumah.
1. Penyiksaan dan Pembunuhan
Sesuai dengan fungsinya sebagai
komandan pasukan cadangan, Mayor Udara Gathut Soekrisno telah menyusun
kedudukan pertahanan. Kepada satuan-satuan dibagikan peralatan dan perlengkapan
berupa pakaian dan senjata. Oleh karena senjata yang tersedia dianggap belum
mencukupi, ia memerintahkan Serma Udara Maoen membongkar dengan paksa gudang
senjata milik Korud V yang terletak di Mampang Prapatan. Pembongkaran dilakukan
pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 02.30.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar
pukul 05.30 pasukan Gatotkaca dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno
menerima hasil penculikan dari pasukan Pasopati. Sementara itu sejak pukul
05.00 para Sukuan PKI yang diantarany terdapat para Sukwati Gerwani, menunggu
datangnya kendaraan yang membawa para korban penculikan di dekat sebuah sumur
tua dibasis gerakan mereka daerah Lubang Buaya. Korban penculikan terdiri atas
empat orang yang matanya ditutup dengan kain merah dan tangannya diikat
kebelakang, serta tiga orang lainnya dalam keadaan meninggal.
Keempat orang yang masih hidup itu
disiksa hingga akhirnya mninggal. Selanjutnya sukwan-sukwan PKI melemparkan
korban itu ke dalam sumur. Sumur itu ditimbun dengan sampah dan tanah yang
kemudian diatasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangka jejak.
4. Kekacaubalauan Pengendalian Oleh CC
PKI
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar
pukul 01.30 Letko Inf Untung diikuti oleh anggota Cenko lainnya pergi ke Lubang
Buaya. Setelah terlebih dahulu menjemput Kolonel Inf. A. Latiet di Cawang untuk
selanjutnya meneliti persiapan akhir serta menyampaikan perintah-perintah dalam
rangka gerakan yang akan segera dilaksanakan.
Setelah gerakan militer untuk menculik
dan membunuh para perwira tinggi TNI AD selesai dilaksanakan, maka Sjam yang
berada di Cenko I selaku pimpinan pelaksana gerakan, memerintahkan Mayor Udara
Sujono untuk segera melaper pada ketua CC PKI D.N. Aidit yang berada di rumah
Sersan Udara Suwardi. Selanjutnya Sjam memerintahkan Brigjen TNI Soeparjdo
bersama Letkol Heru Atmojdo, Mayor Inf Soekirno, dan Mayor Inf Bambang Soepeno
untuk segera berangkat ke istana Merdeka dengan tugas melapor kepada presiden
Soekarno tentang adanya gerakan dari perwira-perwira muda TNI AD untuk
menyelamatkan revolusi dari kudeta Dewan Jenderal. Nada ucapan Sjam kepada
Soepadjo mengandung perintah bahwa, apabila perlu, membawa presiden Soekarno
dengan paksa ke Halim Perdana Kusuma.
Sesuai dengan petunjuk D.N. Aidit
selaku pimpinan tertinggi G 30 S, setelah berakhirnya siaran warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00 pada tanggal 1 Oktober 1965 telah disiarkan pengumuman
pertama tentang adanya G 30 S. Sesudah pengumuman pertamaa berhasil disiarkan,
pada sekitar pukul 14.00 Letkol Inf Untung mengumumkan lewar RRI Jakarta :
1. Dekrit No. I tentang pembentukan dewan
Revolusi Indonesia;
2. Keputusan No. I tentang susunan Dewan
Revolusi Indonesia; dan
3. Keputusan No. 2 tentang penurunan dan
kenaikan pangkat.
Nama-nama yang tecantum dalam susunan
Dewan Revolusi Indonesia tersebut merupakan gabungan antara nama tokoh-tokoh
PKI dan nama tokoh-tokoh yang bukan pendukung PKI. Nama tooh yang bukan
pendukung PKI pada dasarnya merupakan manipulasi PKI, karena yang bersangkutan
sama sekali tidak tahu menahu dan bahkan tidak menyetujui G 30 S tersebut.
Dengan demikian, Dewan Revolusi yang
dibentuk oleh G 30 S merupakan upaya PKI untuk menipu rakyat dengan
memanipulasi nama tokoh-tokoh, baik politik, masyarakat maupun ABRI yang anti
komunis. Sekitar pukul 09.00 karena hari telah siang dan ternyata di Gedung
Penas banyak pekerja Cenko I ditinggalkan oleh pimpinan Dewan Rewalusi daan
pindah ke Cenko II, di rumah Sersan Udara Anis Suyatno. Brigjen Soepardjo yang
ditugasi untuk menghadap presiden ternyata tidak berhasil menemui beliau di
Istana Merdeka. Letkol Udara Heru Atmodjo kemudian kembali ke Halim
Perdanakusuma dan dari Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani ia mengetajui bahwa
Presiden menuju Halim Perdanak. Kemudian, atas perintah men/Pangau Laksdya
udara Omar Dhani, Brigjend TNI Soepardjo dijemput oleh Letkool Udara Heru
Atmodjo dari istana menuju Halim Perdanakusuma dengan menggunakan helikopter.
Presiden dengan kemauan beliau tiba dipangkalan Udara Halim Perdana Kusuma
sekitar pukul 09.00 melauli jalan darat. Brigjend TNI soepardjo melaporkan kepada
Persiden bahwa ia dan kawan-kawan telah mengambil tidakan terhadap perwira
tinggi Peimpinan TNI-AD.
Pada tengah hari Brigjend Soepardjo
kembali ke Cenko II sambil membawa perintah presiden yang intinya agar
menghentikan gerakan dan jangan ada pertumpahan darah. Perintah itu kemudian
didiskusikan oleh pimpinan G30S yang berkumpul di Cenko II dan dalam diskusi
tersebut Sjam berpendapat bahwa perintah tersebut dapat menimbulkan suasana
ragu-ragu dikalangan pimpinan gerakan. Mengingat perintah tersebut tidak
menguntungkan G30S, maka di putuskan untuk tidak mematuhi perintah Presiden
tersebut. Sekitar pukul 18.00 Cenko II menerima laporan bahwa sebagian pasukan
G30S telah mundur ke Pondok Gede yang sejak semula ditetapkan sebagai daerah
pemunduran. Pada saat yang sama. Pada saat yang sama, diterima laporan bahwa
pasukan Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD) telah bergerak
untuk menguasai pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Situasi semakintidak
menguntungkan bagi Gerakan 30 September ketika pukul 19.00 MayJend TNI Soeharto
menyampaikan pidato radio, yang intinya menjelaskan bahwa apa yang menyebut
dirinya Gerakan 30 September (G30S) adalah kegiatan pengkhianatan terhadap
Revolusi. Untuk sementara, sehubungan dengan belum jelasnya nasib Letjend TNI
A.Yani dan Pejabat-pejabat teras TNI-AD lainnya yang diculik oleh gerombolan
Gerakan 30 September, beliau bertindak sebagai pimpinan sementara TNI-AD.
Karena perkembangan baru ini, pimpinan Cenko II mengadakan pembicaraan
dan menyimpulkan bahwa gerakan telah gagal. Oleh karenanya, diputuskan
bahwa pimpinan G30S akan mundur kedaerah pemunduran terakhir, yaitu Pondok
Gede.
BAB IV
PENUMPASAN G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM
PEMBUBARANNYA
1. TINDAKAAN KOSTRAD
1.
Penilaian Panglima Kostrad
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965
pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan pembunuhan
terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera mengumpulkan
staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat tersebut
Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang gerkan yang
beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada. Setelah
tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah
berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota
PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan
bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan
merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.
Operasi Penumpasan
Berdasarkan keyakinan itu, Pangkostrad
Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan pengkhiatan
tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas
Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang tidak mendukung Gerakan 30
September, disertai dengan usaha menginsyafkan kesatuan-kesatuan yang digunakan
oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan makin tidak menguntukan pihak
Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian besar satuan yang digunakan
oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil disadarkan dan kembali
menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian Kostrad. Setelah
pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil disadarkan, maka langkah
selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom yang sejak
pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang berada dibawah komando
Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel
Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali kedua objek penting
tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan darah.
Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta
telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor
Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan
Uadara Halim Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September,
operasi penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang
tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang
menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang
semakin tidak menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi
pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI
Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan
darah.
Setelah RRI berhasil dikuasai kembali
oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD
menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah tanah air.
Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa
telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya Gerakan 30
September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah melakukan penculikab
terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko
Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota
Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan langkah-langkah untuk
menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Soeharto.
Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati rakyat yang seharian penuh
diliputi suasana gelisah dan tanda tanya.
Pasukan pendukung G 30 S setelah
melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal 2 Oktober
1965 pukul 14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.
Ditemukannya Tempat Penguburan Para
Korban Penculikan di Lubang Buaya
Dengan hancurnya kekuatan fisik G 30 S
/ PKI di Ibu Kota operasi dilanjutkan untuk mengetahui nasib para korban
penculikan. Sukitman, anggota polisi yang ditangkap pasukan penculik pada saat
dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan, yang berhasil
melarikan diri melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia menyaksikan sendiri
penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban penculikan. Atas
perintah Mayjen Soeharto dengan bantuan Sukitman tanggal 3 Oktober 1965 sekitar
17.00 dapat ditemukan timbunan tanah dan sampah yang diperkirakan sebagai
tempat penguburan kemudian dilakukan penggalian terhadap timbunan tanah dan
sampah tersebut yang ternyataa adaalah sebuah sumur tua. Hasil penggalian
membenarkan bahwa sumur tua tersebut ditemukan tanda-tanda adanya janazah
sesuaai dengan laporan Sukitman. Atas perintah Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo,
penggalian timbunan tanah dihentikan karena mengalami kesulitan teknis, dan
lagi hal tersebut perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Mayjen Soeharto.
Keesokan harinya, setelah mendapat laporan tentang ditemukannya tempat yang
kemmungkinan besar menjadi tempat para korban penculikan dikubur, Mayjen
Soeharto kemudian menuju sumur tua itu yang berada dilingkuangan kebun karet
didaerah Lubang Buaya. Atas perintah Soeharto penggalian mulai dilakukan, yang
pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh anggota kesatuan Intai para Ampibi (KIPAM)
dari KKU AD ( Marinir) bersama-sama anggota RPKAD dengan disaksikan kembali
oleh mayjen Soeharto. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah semua korban
penculikan yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, mayjen TNI Harhono M. T, Brigjen TNI D. I
Panjaitan, Brigjen TNI Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas Teendean.
Dengan telah ditemukannya seluruh korban penculikan dalam keadaan meninggal,
Soeharto menyampikan pidato yang kemudian di siarkan oleh RRI Jakarta tanggal 4
Oktober 1965 sekitar pukul 20.00. dalam pidato tersebut Soeharto mengatakan
bahwa dengan kesaksian beliau sendiri secara langgsung telah berhasil
ditemukaan jenazah 6 orang jendral dan seorang Perwira pertama yang
menjadi korban penculikan Gerakan 30 September.
Ketujuh jenazah tersebut dikubur dalam
sebuah sumur tua di ddaerah Lubang Buaya, tempat pelatihan sukwan-sukwati
pemuda Rakyat dan Gerwani. Hal itu terbukti dari pengakuan seorang anggota
Gerwani yang berasal dari Jawa Ten gah yang pernah dilatih ditempat tersebut
dan tertangkap di Cirebon.
Setelah dirawat sebagaimana mestinya,
para korban fitnah dan pembunuhan G 30 S kemudian disemayamkan diaula markas Besar
TNI AD jakarta. Keesokan harinya pertepatan dengan HUT ke 20 ABRI, tanggal 5
Oktober 1965 dengan upacara kebesaran militer jenazah para putra terbaik bangsa
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Jendral TNI A.H Nasution bertindak
selaku inspektur upacara. Dalam pidato pengantar jenazah para pahlawan
itu, Menko Hankam/Kasab dengan terbata-bata dan penuh kesedihan menyatakan
bahwa hari angkatan bersenjata tanggal 5 Oktober adalah hari yang selalu
gemilang, tetapi pada hari itu telah dihinakan oleh pengkhianatan dan
penganiayaan para perwira tinggi TNI AD. Beliau juga mengatakan bahwa fitnah
terhadap ABRI merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan dan
mengajak segenap prajurit TNI untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan
tersebut dengan meminta kepada rakyat agar ikhlas melepas para pahlawan
tersebut menghadap Tuhan YME.
Disepanjang jalan iring-iringan jenazah
para pahlawan Revolusi itu, ratusan ribu rakyat mengantarkannya sebagai
perwujudan rasa hormat, belasungakawa dan simpati.
2. TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARAN PKI
1.
1. Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa
Kenyataan menunjukkan bahwa setelah
tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965,
baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena sama sekali tidak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum
mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik
pada saat itu memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang
mereka ambil jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai atau
golongan.
Baru setelah mendengar siaran langsung
pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban penculikan pada tanggal 4
Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusu tanggal 5
Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya bernada
sebagai berikut:
1. Mengucap syukur atas terhindarnya
presiden Soekarno dari bahaya;
2. Tetap berdiri penuh di belakang
presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
3. Mengutuk pemberontakan dan
pengkhianatan G 30 S
4. 2. Tindakan Spontan Massa terhadap PKI
Setelah diperoleh tanda-tanda yang
semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku Gerakan 30 September,
mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda, mahasiswa
dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu
gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi
diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu
terjadi suasana tegang dan konflik fisik.
Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965 di
taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa melakukan
apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel kebulatan tekad
tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas
pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga
negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
Kegiatan penindakan terhadap PKI yang
semula hanya timbul secara spontan dari masing-masing golongan masa, pemuda,
mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada tanggal 2 Oktober 1965
berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII,
unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis seperti
Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron
Pancasila.
Dengan memperhatikan munculnya suasana
yang sama dilingkungan mahasiswa dalam menuntut pembubaran PKI dan menyerbu
gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil beberapa tokoh
dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi gerakan
komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi terpadu
dalam satu kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar membentuk
Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama “ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia”
(KAMI). Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang
kemudian diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan aksi lainnya.
Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Aksi. Pada
tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah
deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara rakyat
dan ABRI sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni
serta menolak usaha pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk
apapun.
3. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Janji yang berulang kali diucapkan
Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian politik yang adil terhadap
pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu, gelombang
demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang
menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa
tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara.
Dalam keadan serba tidaak puas dan
tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani Rakyat, atau lebih
dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan
dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan
aksi yang bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan
tiga buah tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya
adalah :
1. Pembubaran PKI;
2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur
G-30-S/PKI; dan
3. Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.
3. KOMANDO PEMULIHAN KEAMANAN DAN
KETERTIBAN
Sore hari tanggal 2 Oktober 1965
setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota Jakarta, Mayend Soeharto
menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut presiden memutuskan
untuk secra langsung memegang tampuk PimpinanAngkatan Darat yang semenjak
tanggak 1 Iktober 1965 untuk sementara Mayjend Soeharto. Sebagai
pelaksana harian presiden menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk
menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban seperti sedia kala ditunjuk
Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.
Keputusan tersebut disiarkan oleh
Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober
1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan keamanan
dan ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan
ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor
142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12
November 1965 dan Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan
keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta
menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi
fisik, militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan pemberontakan
ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan
organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada
pancasila.
4. SURAT PERINTAH 11 MARET
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden
mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto, menteri/pangad, yang
pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk atas nama presiden/Pangti
ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega tindakan yang dianggap perlu guna
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam pemerintahan.
Pemberian surat perintah tersebut
merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepda Letjend
Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya
Surat Perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat dan
durat perintah tersebut sering disebut “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret).
Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang masih
adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil pengadilan
dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada
tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi
yang bernaungdan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi
terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.
5. PEMBUBARAN PKI
Berdasarkan wewenang yang bersumber
pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan
pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat
sampai kedaerah beserta semua organisasi yang se azas/ berlindung/bernaung
dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Pangti
ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966 dan merupakan
tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah 11 Maret atau
Supersemar.
Keputusan pembubaran dan
pelarangan PKI itu diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan
bahwa PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan
itu saja, tetapi telah dua kali pengkhianatan terhadap negara dan rakyat
Indonesia yang sedanag berjuang.
Seluruh rakyat yang menjunjung tinggi
landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak menuntut
dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu disambut
dengan gembira dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.
BAB V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Akhir dari Orde Lama, di tandai oleh
tragedi nasional yang biasa disebut Gerakan 30 September, yang dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI ). Hal ini merupakan usaha mengganti Pancasila
dan UUD 1945 dengan ideologi komunis. Inilah bahaya terbesar bagi Pancasila dan
UUD 1945 yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 30 September malam 1965,
PKI telah siap melakukan pemberontakan dengan pangkalan di Lubang Buaya,
termasuk daerah pangkalan Halim Perdana Kusumah. Gerakan tersebut dipelopori
oleh pasukan Pasopati di bawah pimpinan Lettu Dul Arief dan pasukan yang
memakai seragam Resimen Cakrabirawa Pengawal Istana, yang dipimpin oleh Letkol
Untung Sutopo. Mereka bergerak hari Jumat, 1 Oktober 1965, pukul 03.00 dini
hari memasuki Ibukota dengan sasaran : (a) menculik dan membunuh beberapa
perwira tinggi TNI-AD, dan (b) menduduki tempat vital, seperti studio Radio
Republik Indonesia, pusat telekomunikasi, dan Istana Merdeka.
Sasaran yang menjadi korban adalah
Letnan Jendral Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jendral haryono (Deputy
Khusus) dibunuh di rumah kediaman kemudian dibawa ke Lubang Buaya. Lettu Piere
Andreas Tendean (Ajudan menko Hankam KASAB Jenderal A.H. Nasution), Mayor
Jenderal Suprapto (Deputy Pembinaan), Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I),
brigjen D.I. Panjaitan ( Asisten IV), Brigjen Sutoyo Siswomiharjo ( Inspektur
Kehakiman), diculik dan dibawa ke Lubang Buaya, disiksa dan dibunuh, dimasukkan
sumur kering. Peristiwa sadis tersebut selesai pukul 06.30 pagi. Dalam
usaha penculikan itu Jenderal Nasution dapat menyelamatkan diri, tetapi Ade
Irma Suryani, puterinya yang masih kecil, menjadi korban membentengi ayahnya..
Dalam penyiksaan di Lubang Buaya
tersebut, disaksikan oleh Sukitman (seorang anggota Poltas) yang lepas
dari tawanan pemberontak. Selanjutnya Sukitman berjasa sebagai informan dalam
pencarian para korban oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Tanggal 2 Oktober 1965 , saat menjelang
subuh, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dibantu Batayon 328 Kujang Siliwangi,
berhasil merebut Pangkalan Halim Perdana Kusumah, basis G30S/PKI. Letkol Untung
Sutopo dan Dipo Nusantara Aidit (Pimpinan Sentral Komite Partai Komunis
Indonesia atau CCPKI) berhasil lolos dan melarikan diri.
Tanggal 4 Oktober 1965, dilakukan pengambilan
jenazah para perwira Tinggi AD oleh anggota RPKAD dan KKO AL, dipimpin oleh
Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto. Pada hari berikutnya, para Perwira Tinggi
AD dan Seorang Perwira pertama korban penculikan G30S/PKI tersebut dianugerahi
gelar Pahlawan Revolusi dengan Surat Keputusan No. III/KOTI/1965 dan dimakamkan
di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta.
Bagaimanapun, Pancasila dan UUD 1945
pulalah yang sebenarnya berhasil untuk menggagalkan G30S/PKI dan
menghancurkannnya. Hal itu artinya, bahwa G30S/PKI tersebut dapat digagalkan
oleh kekuatan rakyat yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai
Pancasila yang pernah menyelamatkan bangsa Indonesia dari bahaya perpecahan
bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan, saat ini kembali jiwa dan semangatnya
berkobar dengan seindah-indahnya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari
pengkhianatan G30S/PKI. Itulah makna dari tanggal 1 Oktober sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Yang sakti bukan Pancasila sebagai rumusan yuridis formal,
melainkan nilai-nilainya yang dipahami, dihayati, dan diamalkan secara murni
dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kegagalan G30S/PKI berarti berakhirnya
masa pemerintahan Orde Lama, dan tangggal 1 Oktober 1965 menjadi awal proses
peralihan dari masa pemerintahan Orde lama ke Orde Baru, yaitu orde atau
tatanan yang secara murni dan konsekuen. Murni berarti sesuai dengan hakikat
makna masing-masing sila dari Pancasila, tanpa rekayasa dan jauh dari
pemaksaan; konsekuen berarti tulus dan bertanggung jawab. Mulainya Orde Baru
ditengarai dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden
Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang
perlu demi keamanan bangsa dan negara. Berdasar pada Supersemar tersebut, tanggal
12 Maret 1966 Soeharto membubarkan PKI dengan segenap Ormas (Organisasi Massa)
dan Orpol (Organisasi Politik)-nya.
DAFTAR PUSTAKA
____________.1994.Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.Jakarta:
Sekretarit Negara RI.
____________.1981.30 Tahun Indonrsia Merdeka.Jakarta:Sekretariat
Kementrian Negara RI.
Gottschalk, louis.1975.Mengerti Sejarah.terjemahan Nugroho
Notosusanto.Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
Ismaun. Helius Sjamsuddin. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah.Jakarta: Depdikbud Direktorat
Jendral Perguruan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Kaswati, anggar.1998.Metodologi sejarah dan Historiografi.Yogyakarta: Beta
Offset Yogyakarta.
Soegeng, A.Y.2002.Memahami Sejarah Indonesia (Materi Pendidikan Pancasila).Salatiga:Widya
Sari Press.
Suwanto,dkk.1997.Sejarah Nasional dan Umum.Semarang:Aneka Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaam dan
Pengembaan Bahasa. 1993.Kamus Besar Bagasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar