Selasa, 17 Oktober 2017

makalah tentang bayi tabung 1

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ajaran syariat islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di antara panca maslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis agama islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika, sehingga sangat potensial berdampak negative dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syari’ah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan tentang  bagaimana pelaksanaan Bayi Tabung bila dilihat dari kacamata islam. Apakah Bayi Tabung diperbolehkan dalam ajaran islam atau malah diharamkan oleh ajaran islam. Oleh karena itu sebelum kita membahas dalam tentang diahalalkan dan diharamkannya bayi tabung dalam pandangan islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang pengertian bayi tabung itu sendiri. Semoga isi daripada tulisan ini dapat memberikan sebuah manfaat yang berguna bagi anda semua dan terpenting segala aktivitas yang dikerjakan semoga mendapat ridho dan rahmat dari Allah SWT. Amin ya rabbalallamin.

B.  Rumusan Masalah
     - Apa Pengertian Bayu Tabung?
     - Bagaimana Bayi Tabung Menurut Pandangan Islam?
     - Sejarah Bayi Tabung?
     - Apa Hukum Bayi Tabu?
     - Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang Bayi Tabung?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bayi Tabung/Inseminasi Buatan
Bayi tabung merupakan terjemahan dari artificial insemination. artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin “inseminatus” artinya pemasukan atau penyimpanan. Bayi tabung dikenal juga dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai in vitro fertilitation ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Bayi Tabung merupakan salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan dalam sebuah rumah tangga ketika metode lainnya tidak berhasil.

B.     Bayi Tabung dalam Pandangan Islam
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah bahkan dalam kajian Fiqih klasik sekalipun.  Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
1.      Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :
a.       Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama. sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan dirahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
b.      Bayi Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimnulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan.
c.       Bayi Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.
2.      Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
a.       Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-isntri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rosulallah SAW bersabda “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya..”
b.      Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
c.       Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

3.      Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor, antara  lain :
a.       “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS Al-Israa’:70).
b.      “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-tiin:4).
c.       Hadist Nabi SAW yang mengatakan : ” tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang shahih oleh Ibnu Hibban).
  
C.    Sejarah Bayi Tabung
Bayi tabung pertama Louis Brown dari Inggris lahir 30 tahun lalu. Pembuahan buatan sudah merupakan prosedur standar kedokteran, untuk menolong pasangan yang sulit punya anak secara alami. Jumlah pasangan suami-istri yang melaksanakan program bayi tabung dari tahun ke tahun juga meningkat. Sebuah pemecahan praktis yang juga harus disadari mengandung risiko. Prosedurnya saja sudah amat menegangkan, melelahkan dan bahkan sering memicu rasa frustrasi. Belum lagi mengintai bahaya kecacatan pada bayi dan dampak lainnya. Seberapa besar risiko program bayi tabung itu, kini menjadi tema penelitian sejumlah dokter dan ilmuwan Jerman. Metode umum yang digunakan sejak 30 tahun lalu, adalah pembuahan dalam tabung reaksi atau istilahnya pembuahan in-vitro. Secara sederhana caranya adalah dengan membuahi sel telur dengan sel sperma di luar rahim ibu. Setelah terjadi pembuahan, barulah sel telur itu kembali dicangkokan ke dalam rahim ibu.
Bildunterschrift: Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:  Louise Brown, bayi tabung pertama, ketika berumur 1 tahun. Pembuahan in-vitro benar-benar program bayi tabung, karena sel telur dan sperma dipertemukan dalam tabung reaksi. Selain itu juga dikembangkan metode terbaru, berupa pembuahan buatan di dalam rahim menggunakan bantuan semacam pipet untuk menyuntikan sperma. Metodenya disebut intra-cytoplasma dengan menyuntikan sperma. Di Jerman anak pertama yang dibuahi dengan metode intra-cytoplasma ini dilahirkan tahun 1994 lalu, dari pasangan yang suaminya tidak mampu membuahi sel telur istrinya secara alami. Belum diketahui apakah ketidakmampuan ayahnya untuk melakukan pembuahan secara alami, juga akan diturunkan kepada anaknya. Namun diketahui, pembuahan intra-cytoplasma lebih berisiko dibanding pembuahan dalam tabung atau in-vitro. Risikonya adalah bayi dengan cacat bawaan. Seperti yang dijelaskan Prof. Hilke Bertelsmann, pakar ilmu kesehatan dan sekaligus juga pakar biologi Jerman.
“Cacat bawaan adalah cacat yang kelihatan maupun yang tidak, seperti kelainan pada jantung, ginjal dan organ tubuh lainnya. Kekhawatiran lainnya adalah, sel sperma dan sel telur mengalami kerusakan akibat panas atau manipulasi. Karena itu ditakutkan semakin banyak kasus cacat bawaan dari metode pembuahan menggunakan pipet yang disuntikan ke sel telur, ketimbang pembuahan dalam tabung reaksi”.
Berlandaskan dugaan semacam itu, Prof. Bertelsmann mengimbau komisi kedokteran federal di Jerman, yang merupakan lembaga tertinggi administrasi kedokteran dengan anggota para dokter, rumah sakit dan asuransi kesehatan, untuk melakukan penelitian terpadu serta penelitian data secara sistematis. Tujuannya untuk meneliti risiko munculnya cacat bawaan pada berbagai metode pembuahan buatan. Bildunterschrift: Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:  Seorang dokter sedang melakukan proses pembuahan buatan.Sejauh ini memang belum diketahui secara pasti apa penyebab meningkatnya kasus cacat bawaan pada bayi tabung itu. Dalam 10 kasus yang diamati, menyangkut perbedaan metode in-vitro dan intra-cytoplasma, sejauh ini tidak ditemukan hasil yang signifikan. Artinya, kemungkinan besar metode intra-cytoplasma juga tidak meningkatkan risiko munculnya cacat bawaan.
Prof.Hilke Bertelsmann lebih lanjut mengatakan, “Walaupun begitu kami harus mengatakan, kami tidak tahu, apakah hal itu disebabkan metode kedokteran dari pembuahan buatan, atau dari meningkatnya risiko pada orang tua. Karena pada dasarnya akibat risiko itulah mengapa mereka tidak bisa mendapatkan anak dengan cara alami”. Yang sudah pasti, kasus cacat bawaan lebih banyak terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dengan cara pembuahan buatan, baik itu dengan metode in-vitro maupun intra-cytoplasma, ketimbang pada anak-anak yang dilahirkan dari pembuahan secara alami.
Selain itu, kuota keberhasilan pembuahan buatan juga relatif rendah. Hanya 40 persen pembuahan buatan yang sukses menimbulkan kehamilan. Sementara jumlah sukses kehamilan hingga melahirkan anak jauh lebih rendah lagi, yakni hanya 15 persen dari seluruh kehamilan melalui metode pembuahan buatan. Karena itulah, cukup banyak pasangan suami istri yang memutuskan, melakukan pembuahan buatan beberapa sel telur sekaligus dan mencangkokan sel embryo tersebut dalam rahim. Dengan begitu diharapkan salah satu embryo akan berhasil berkembang menjadi janin di dalam rahim. Akan tetapi, juga muncul masalah lainnya. Kadang-kadang beberapa sel telur yang sudah dibuahi secara buatan, berkembang bersamaan di dalam rahim. Terjadi kehamilan kembar lebih dari dua bayi. Dampaknya adalah berkurangnya peluang janin untuk terus berkembang dalam rahim.
Masalah lainnya yang dihadapi di Jerman adalah kendala hukum. Aturan yang berlaku untuk pembuahan buatan, tidak mengizinkan orang tua menggugurkan salah satu bayi kembar lebih dari dua, hasil dari pembuahan buatan. Atau secara bahasa kedokterannya, memberikan peluang kepada janin yang memiliki kemungkinan paling baik untuk terus berkembang dalam rahim, dengan menyingkirkan saingannya yang kemungkinan cacat. Terlepas dari aturan yang berlaku, teknologi pembuahan buatan atau program bayi tabung, walaupun sudah berumur 30 tahun, tetap mengandung banyak misteri dan pertanyaan yang belum terjawab tuntas secara ilmu kedokteran, menyangkut kemungkinan risiko cacat bawaan.

D.    Faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa bayi tabung diadakan
Banyak faktor yang menjadi penyebab infertilitas sehingga pasangan suami istri tidak mempunyai anak, antara lain:
1.   Faktor hubungan seksual, yaitu frekuensi yang tidak teratur (mungkin terlalu sering atau terlalu jarang), gangguan fungsi seksual pria yaitu disfungsi ereksi, ejakulasi dini yang berat, ejakulasi terhambat, ejakulasi retrograde (ejakulasi ke arah kandung kencing), dan gangguan fungsi seksual wanita yaitu dispareunia (sakit saat hubungan seksual) dan vaginismus.
2.   Faktor infeksi, berupa infeksi pada sistem seksual dan reproduksi pria maupun wanita, misalnva infeksi pada buah pelir dan infeksi pada rahim.
3. Faktor hormon, berupa gangguan fungsi hormon pada pria maupun wanita sehingga pembentukan sel spermatozoa dan sel telur terganggu.
4.      Faktor fisik, berupa benturan atau temperatur atau tekanan pada buah pelir sehingga proses produksi spermatozoa terganggu.
5.      Fakror psikis, misalnya stress yang berat sehingga mengganggu pembentukan set spermatozoa dan sel telur.
Untuk menghindari terjadinya gangguan kesuburan pada pria maupun wanita, maka faktor-faktor penyebab tersebut tersebut harus dihindari. Tetapi kalau gangguan kesuburan telah terjadi, diperlukan pemeriksaan yang baik sebelum dapat ditentukan langkah pengobatannya.
Apakah infertilitas dapat diatasi?
Masalah infertilitas sebenarnya adalah masalah gangguan kesuburan pasangan. Gangguan kesuburan mungkin dapat diatasi, mungkin juga tidak dapat diatasi. Hal itu sangat tergantung kepada penyebabnya dan sejauh mana kesuburan telah terganggu. Berbagai cara dan pengobatan telah tersedia untuk mengatasi gangguan kesuburan, tetapi tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh, infertilitas yang disebabkan karena penyumbatan saluran telur. Cara yang ada untuk membuka kembali saluran telur yang tersumbat ternyata tidak memberikan hasil yang baik. Contoh lain, pengobatan gangguan sperma, mungkin memberikan hasil yang baik, mungkin juga tidak. Pengobatan gangguan sperma yang disebabkan karena infeksi pada buah pelir, pada umumnya tidak memuaskan.
Itu berarti tidak semua pasangan infertil dapat mengatasi masalahnya dan dapat mempunyai anak. Karena itu, pada keadaan di mana gangguan kesuburan tidak dapat diatasi, dilakukan cara lain yang merupakan cara pintas. Cara pintas ini tidak lagi bertujuan memperbaiki gangguan kesuburan, melainkan langsung ke tujuan akhir, yaitu menghasilkan kehamilan. Cara pintas yang tersedia ialah inseminasi buatan dengan menggunakan sperma suami dan tehnik “bayi tabung”. Inseminasi buatan dengan sperma suami dilakukan bila terjadi gangguan kualitas dan kuantitas sperma, gangguan dalam melakukan hubungan seksual sehingga sperma tidak dapat masuk ke vagina, dan gangguan mulut rahim sehingga sel spermatozoa gagal masuk ke dalam rahim. Di masyarakat muncul anggapan salah, seolah-olah tehnik “bayi tabung” adalah segalanya. Seolah-olah dengan cara ini pasangan infertil pasti dapat menjadi hamil dan mempunyai anak. Padahal ternyata tidak demikian. Keberhasilan tehnik “bayi tabung” dengan cara yang paling mutakhir dan di negara maju sekalipun, masih tergolong rendah sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi.



E.     Hukum Bayi Tabung
            Apabila mengkaji tentang bayi tabung dari hukum islam,maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad agar hukum ijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa al-Quran dan sunnah menjadi pasanagan umat islam.Bayi Tabung dilakukan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang berpoligami),maka islam membenarkan,baik dengan cara mengambil sperma suami,kemudian disuntikkan kedalam vagina atau uterus istri,maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim,kemudian buahnya ditanam kedalam rahim istri,asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak,karena dengan cara pembuahan alami,suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Menurut Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
Artinya: Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Inseminasi buatan endahngan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang di inseminasi.
Hadist Nabi:
Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain(vagina  istri orang lain). Hadist Riwayat Abu Daud, Al-Tirmizi dan hadist ini dipandang sahih oleh Ibnu Hibban. Dengan hadist ini para ulama sepakat mengharamkan seseorang mengawini/melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lain yang mempunyai ikatan perkawinan yang sah. Pada zaman dulu masalah bayi tabung/inseminasi buatan belum timbul,sehingga kita tidak memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.Kita dapat menyadari bahwa inseminasi buatan / bayi tabung dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan madaratnya daripada maslahahnya.

F.     Bayi Tabung Pendapat Para Ulama
1.      Menurut MUI
Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a.       Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
b.      Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c.       Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d.      Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.

2.      Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung:
a.       Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah   syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
b.      Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
c.       Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

3.      Ulama Saudi Arabia
Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:
 Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)
4.      Majelis Mujamma’ Fiqih Islami
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami ini menetapkan sebagai berikut:
 Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c.   Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
  Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
a.  Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b.   Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
 Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat.

5.      Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah wal jamaah berpendapat lain, beliau berpendapat sebagai berikut : “Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh. Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).

6.      Ulama di Malaysia
Ulama di Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia memberi fatwa tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
Keputusan 1
a.  Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.
b.  Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c.   Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Keputusan 2
a.   Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.
b.  Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c.   .Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.

Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berba­nyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
 Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)
 Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusaha­kan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ter­nyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikem­balikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditem­puh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja­dinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya. Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk mengha­silkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah ter­buahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu  pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demi­kian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam.  Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :
 “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)
 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
 Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

G.    Dalil tentang Program Bayi Tabung
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang namanya inseminasi buatan/bayi tabung/athfaalul anaabib itu masih menjadi perdebatan [ublik khususnya di Negara Indonesia ini, meski kita tahu para pakar islam telah menetapkan dalam fatwanya mengenai bayi tabung itu diperbolehkan bila sperma-ovum berasal dari pasangan suami-istri yang sah. Namun alangkah baiknya juga bila kita senantiasa memelihara dan menjaga kesehatan organ vital/reproduksi kita masing-masing demi kelangsungan generasi ke depan. Perlu menjadi catatan disin bahwa bayi tabung tealh berkembang pesat di barat, tetapi bukan untuk mencari jalan keluar bagi pasangan suami-istri yang tidak bisa mempunyai anak secara normal, tetapi mereka mengembangkan untuk proyek-proyek maksiat yang diharamkan didalam islam, bahkan mereka benar-benar telah menghidupkan kembali pernikahan yang pernah dilakukan orang-orang jahiliah Arab sebelum kedatangan islam, yaitu para suami menyuruh para istri untuk datang kepada orang-orang yang dianggap cerdar dan pintar atau pemberani agar mereka mau menggauli para istri tersebut dengan tujuan anak mereka ikut menjadi cerdas dan pemberani. Hal sama telah dilakukan di Amerika dimana mereka mengumpulkan sperma orang-orang pintar dalam bank sperma, kemudian di jual kepada siapa yang menginginkan anaknya pintar dengan cara bayi tabung/inseminasi buatan. (DR. Muhammad Ali Bar, At-talqih AS sina’i wa athfal Al Anabib dalam Majalah Al-majma’ Al-fiqh al-islami, edisi 2 : 1/269). Mudah-mudahan umat islam dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rosul-Nya dan memilih cara inseminasi buatan ini hanya dalam keadaan sangat darurat, itu[un pada bagian yang diperbolehkan saja sebagaimana telah diterangkan di atas.  Wallahu A’lam. (Dr. Ahmad Zain An Najah).









DAFTAR PUSTAKA

Majelis Ulama Indonesia, Surat Keputusan MUI Nomor : Kep-952/MUI/XI/1990 Tentang Inseminasi dan Bayi Tabung
Fathurin Zen, “Suatu Tinjauan Dari Segi Hukum Mengenai Status Bayi Tabung”, Skripsi Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum – Universitas Islam Jakarta, 1990

Masjfuk Zuhdi. 1989. Masail Fiqiyah. Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar