BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran syariat islam mengajarkan kita untuk tidak boleh
berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam
menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di antara panca maslahat yang
diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis agama islam) adalah hifdz
an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan
kesinambungan generasi umat manusia. Teknologi bayi tabung dan inseminasi
buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat
netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun
memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan
kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan
beretika, sehingga sangat potensial berdampak negative dan fatal. Oleh karena
itu kaedah dan ketentuan syari’ah merupakan pemandu etika dalam penggunaan
teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai
menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Dalam tulisan ini
saya akan menjelaskan tentang bagaimana pelaksanaan Bayi Tabung bila
dilihat dari kacamata islam. Apakah Bayi Tabung diperbolehkan dalam ajaran
islam atau malah diharamkan oleh ajaran islam. Oleh karena itu sebelum kita
membahas dalam tentang diahalalkan dan diharamkannya bayi tabung dalam
pandangan islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang pengertian bayi
tabung itu sendiri. Semoga isi daripada tulisan ini dapat memberikan sebuah manfaat
yang berguna bagi anda semua dan terpenting segala aktivitas yang dikerjakan
semoga mendapat ridho dan rahmat dari Allah SWT. Amin ya rabbalallamin.
B. Rumusan
Masalah
- Apa Pengertian Bayu Tabung?
- Bagaimana Bayi Tabung Menurut
Pandangan Islam?
- Sejarah Bayi Tabung?
- Sejarah Bayi Tabung?
- Apa Hukum Bayi Tabu?
- Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang
Bayi Tabung?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bayi
Tabung/Inseminasi Buatan
Bayi tabung merupakan terjemahan dari artificial
insemination. artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination
berasal dari kata latin “inseminatus” artinya pemasukan atau penyimpanan. Bayi
tabung dikenal juga dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa inggris
dikenal sebagai in vitro fertilitation ini adalah sebuah teknik pembuahan sel
telur (ovum) di luar tubuh wanita tanpa melalui senggama (sexual intercourse).
Bayi Tabung merupakan salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan dalam
sebuah rumah tangga ketika metode lainnya tidak berhasil.
B. Bayi Tabung
dalam Pandangan Islam
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan islam
termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara
spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah bahkan dalam kajian Fiqih klasik
sekalipun. Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di
Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
1. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi
tabung, diantaranya :
a. Bayi tabung
dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah
(boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan
suami-istri yang dititipkan dirahim perempuan lain dan itu hukumnya haram,
karena dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan.
b. Bayi Tabung dari
sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
Sebab, hal ini akan menimnulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan
penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan.
c. Bayi Tabung
yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah hal
tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.
2. Nahdlatul Ulama
(NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum Munas di
Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan ulama NU
terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
a. Apabila mani
yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani
suami-isntri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada
sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rosulallah SAW bersabda “Tidak
ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya
(berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya..”
b. Apabila sperma yang
ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
c. Apabila mani yang
ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya termasuk
muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung
menjadi mubah (boleh).
3. Dalil-dalil syar’i
yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan
donor, antara lain :
a. “Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.” (QS Al-Israa’:70).
b. “Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS
At-tiin:4).
c. Hadist Nabi
SAW yang mengatakan : ” tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang
lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang shahih oleh Ibnu Hibban).
C. Sejarah Bayi
Tabung
Bayi tabung pertama Louis Brown dari Inggris lahir 30
tahun lalu. Pembuahan buatan sudah merupakan prosedur standar kedokteran, untuk
menolong pasangan yang sulit punya anak secara alami. Jumlah pasangan
suami-istri yang melaksanakan program bayi tabung dari tahun ke tahun juga
meningkat. Sebuah pemecahan praktis yang juga harus disadari mengandung risiko.
Prosedurnya saja sudah amat menegangkan, melelahkan dan bahkan sering memicu
rasa frustrasi. Belum lagi mengintai bahaya kecacatan pada bayi dan dampak
lainnya. Seberapa besar risiko program bayi tabung itu, kini menjadi tema
penelitian sejumlah dokter dan ilmuwan Jerman. Metode umum yang digunakan sejak
30 tahun lalu, adalah pembuahan dalam tabung reaksi atau istilahnya pembuahan
in-vitro. Secara sederhana caranya adalah dengan membuahi sel telur dengan sel
sperma di luar rahim ibu. Setelah terjadi pembuahan, barulah sel telur itu
kembali dicangkokan ke dalam rahim ibu.
Bildunterschrift: Großansicht des Bildes mit der
Bildunterschrift: Louise Brown, bayi tabung pertama, ketika berumur 1
tahun. Pembuahan in-vitro benar-benar program bayi tabung, karena sel telur dan
sperma dipertemukan dalam tabung reaksi. Selain itu juga dikembangkan metode
terbaru, berupa pembuahan buatan di dalam rahim menggunakan bantuan semacam
pipet untuk menyuntikan sperma. Metodenya disebut intra-cytoplasma dengan
menyuntikan sperma. Di Jerman anak pertama yang dibuahi dengan metode
intra-cytoplasma ini dilahirkan tahun 1994 lalu, dari pasangan yang suaminya
tidak mampu membuahi sel telur istrinya secara alami. Belum diketahui apakah
ketidakmampuan ayahnya untuk melakukan pembuahan secara alami, juga akan
diturunkan kepada anaknya. Namun diketahui, pembuahan intra-cytoplasma lebih
berisiko dibanding pembuahan dalam tabung atau in-vitro. Risikonya adalah bayi
dengan cacat bawaan. Seperti yang dijelaskan Prof. Hilke Bertelsmann, pakar
ilmu kesehatan dan sekaligus juga pakar biologi Jerman.
“Cacat bawaan adalah cacat yang kelihatan maupun yang
tidak, seperti kelainan pada jantung, ginjal dan organ tubuh lainnya.
Kekhawatiran lainnya adalah, sel sperma dan sel telur mengalami kerusakan
akibat panas atau manipulasi. Karena itu ditakutkan semakin banyak kasus cacat
bawaan dari metode pembuahan menggunakan pipet yang disuntikan ke sel telur,
ketimbang pembuahan dalam tabung reaksi”.
Berlandaskan dugaan semacam itu, Prof. Bertelsmann
mengimbau komisi kedokteran federal di Jerman, yang merupakan lembaga tertinggi
administrasi kedokteran dengan anggota para dokter, rumah sakit dan asuransi
kesehatan, untuk melakukan penelitian terpadu serta penelitian data secara
sistematis. Tujuannya untuk meneliti risiko munculnya cacat bawaan pada
berbagai metode pembuahan buatan. Bildunterschrift: Großansicht des Bildes mit
der Bildunterschrift: Seorang dokter sedang melakukan proses pembuahan
buatan.Sejauh ini memang belum diketahui secara pasti apa penyebab meningkatnya
kasus cacat bawaan pada bayi tabung itu. Dalam 10 kasus yang diamati,
menyangkut perbedaan metode in-vitro dan intra-cytoplasma, sejauh ini tidak
ditemukan hasil yang signifikan. Artinya, kemungkinan besar metode
intra-cytoplasma juga tidak meningkatkan risiko munculnya cacat bawaan.
Prof.Hilke Bertelsmann lebih lanjut mengatakan, “Walaupun
begitu kami harus mengatakan, kami tidak tahu, apakah hal itu disebabkan metode
kedokteran dari pembuahan buatan, atau dari meningkatnya risiko pada orang tua.
Karena pada dasarnya akibat risiko itulah mengapa mereka tidak bisa mendapatkan
anak dengan cara alami”. Yang sudah pasti, kasus cacat bawaan lebih banyak
terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dengan cara pembuahan buatan, baik itu
dengan metode in-vitro maupun intra-cytoplasma, ketimbang pada anak-anak yang
dilahirkan dari pembuahan secara alami.
Selain itu, kuota keberhasilan pembuahan buatan juga
relatif rendah. Hanya 40 persen pembuahan buatan yang sukses menimbulkan
kehamilan. Sementara jumlah sukses kehamilan hingga melahirkan anak jauh lebih
rendah lagi, yakni hanya 15 persen dari seluruh kehamilan melalui metode
pembuahan buatan. Karena itulah, cukup banyak pasangan suami istri yang
memutuskan, melakukan pembuahan buatan beberapa sel telur sekaligus dan
mencangkokan sel embryo tersebut dalam rahim. Dengan begitu diharapkan salah
satu embryo akan berhasil berkembang menjadi janin di dalam rahim. Akan tetapi,
juga muncul masalah lainnya. Kadang-kadang beberapa sel telur yang sudah
dibuahi secara buatan, berkembang bersamaan di dalam rahim. Terjadi kehamilan
kembar lebih dari dua bayi. Dampaknya adalah berkurangnya peluang janin untuk
terus berkembang dalam rahim.
Masalah lainnya yang dihadapi di Jerman adalah kendala
hukum. Aturan yang berlaku untuk pembuahan buatan, tidak mengizinkan orang tua
menggugurkan salah satu bayi kembar lebih dari dua, hasil dari pembuahan
buatan. Atau secara bahasa kedokterannya, memberikan peluang kepada janin yang
memiliki kemungkinan paling baik untuk terus berkembang dalam rahim, dengan
menyingkirkan saingannya yang kemungkinan cacat. Terlepas dari aturan yang
berlaku, teknologi pembuahan buatan atau program bayi tabung, walaupun sudah
berumur 30 tahun, tetap mengandung banyak misteri dan pertanyaan yang belum
terjawab tuntas secara ilmu kedokteran, menyangkut kemungkinan risiko cacat
bawaan.
D. Faktor-faktor yang
mempengaruhi mengapa bayi tabung diadakan
Banyak faktor yang menjadi penyebab infertilitas sehingga
pasangan suami istri tidak mempunyai anak, antara lain:
1. Faktor hubungan seksual, yaitu
frekuensi yang tidak teratur (mungkin terlalu sering atau terlalu jarang),
gangguan fungsi seksual pria yaitu disfungsi ereksi, ejakulasi dini yang berat,
ejakulasi terhambat, ejakulasi retrograde (ejakulasi ke arah kandung kencing),
dan gangguan fungsi seksual wanita yaitu dispareunia (sakit saat hubungan
seksual) dan vaginismus.
2. Faktor infeksi, berupa infeksi pada sistem
seksual dan reproduksi pria maupun wanita, misalnva infeksi pada buah pelir dan
infeksi pada rahim.
3. Faktor hormon, berupa gangguan fungsi hormon pada
pria maupun wanita sehingga pembentukan sel spermatozoa dan sel telur
terganggu.
4. Faktor fisik,
berupa benturan atau temperatur atau tekanan pada buah pelir sehingga proses
produksi spermatozoa terganggu.
5. Fakror psikis,
misalnya stress yang berat sehingga mengganggu pembentukan set spermatozoa dan
sel telur.
Untuk menghindari terjadinya gangguan kesuburan pada pria
maupun wanita, maka faktor-faktor penyebab tersebut tersebut harus dihindari.
Tetapi kalau gangguan kesuburan telah terjadi, diperlukan pemeriksaan yang baik
sebelum dapat ditentukan langkah pengobatannya.
Apakah
infertilitas dapat diatasi?
Masalah infertilitas sebenarnya adalah masalah gangguan
kesuburan pasangan. Gangguan kesuburan mungkin dapat diatasi, mungkin juga
tidak dapat diatasi. Hal itu sangat tergantung kepada penyebabnya dan sejauh
mana kesuburan telah terganggu. Berbagai cara dan pengobatan telah tersedia untuk
mengatasi gangguan kesuburan, tetapi tidak selalu memberikan hasil yang
diharapkan. Sebagai contoh, infertilitas yang disebabkan karena penyumbatan
saluran telur. Cara yang ada untuk membuka kembali saluran telur yang tersumbat
ternyata tidak memberikan hasil yang baik. Contoh lain, pengobatan gangguan
sperma, mungkin memberikan hasil yang baik, mungkin juga tidak. Pengobatan
gangguan sperma yang disebabkan karena infeksi pada buah pelir, pada umumnya
tidak memuaskan.
Itu berarti tidak semua pasangan infertil dapat mengatasi
masalahnya dan dapat mempunyai anak. Karena itu, pada keadaan di mana gangguan
kesuburan tidak dapat diatasi, dilakukan cara lain yang merupakan cara pintas.
Cara pintas ini tidak lagi bertujuan memperbaiki gangguan kesuburan, melainkan
langsung ke tujuan akhir, yaitu menghasilkan kehamilan. Cara pintas yang
tersedia ialah inseminasi buatan dengan menggunakan sperma suami dan tehnik
“bayi tabung”. Inseminasi buatan dengan sperma suami dilakukan bila terjadi
gangguan kualitas dan kuantitas sperma, gangguan dalam melakukan hubungan
seksual sehingga sperma tidak dapat masuk ke vagina, dan gangguan mulut rahim
sehingga sel spermatozoa gagal masuk ke dalam rahim. Di masyarakat muncul
anggapan salah, seolah-olah tehnik “bayi tabung” adalah segalanya. Seolah-olah
dengan cara ini pasangan infertil pasti dapat menjadi hamil dan mempunyai anak.
Padahal ternyata tidak demikian. Keberhasilan tehnik “bayi tabung” dengan cara
yang paling mutakhir dan di negara maju sekalipun, masih tergolong rendah sementara
biaya yang diperlukan sangat tinggi.
E. Hukum Bayi
Tabung
Apabila mengkaji tentang bayi tabung dari hukum islam,maka harus dikaji dengan
memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad agar hukum
ijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa al-Quran dan sunnah menjadi
pasanagan umat islam.Bayi Tabung dilakukan apabila dilakukan dengan sel sperma
dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim
wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang
berpoligami),maka islam membenarkan,baik dengan cara mengambil sperma
suami,kemudian disuntikkan kedalam vagina atau uterus istri,maupun dengan cara
pembuahan dilakukan diluar rahim,kemudian buahnya ditanam kedalam rahim
istri,asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan
cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak,karena dengan cara pembuahan
alami,suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Menurut
Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
Artinya: Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan
dan lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.
Inseminasi buatan endahngan donor itu pada hakikatnya
merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang di inseminasi.
Hadist
Nabi:
Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan
hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain(vagina
istri orang lain). Hadist Riwayat Abu Daud, Al-Tirmizi dan hadist ini dipandang
sahih oleh Ibnu Hibban. Dengan hadist ini para ulama sepakat mengharamkan
seseorang mengawini/melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang
lain yang mempunyai ikatan perkawinan yang sah. Pada zaman dulu masalah bayi
tabung/inseminasi buatan belum timbul,sehingga kita tidak memperoleh fatwa
hukumnya dari mereka.Kita dapat menyadari bahwa inseminasi buatan / bayi tabung
dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan madaratnya daripada maslahahnya.
F. Bayi Tabung
Pendapat Para Ulama
1. Menurut
MUI
Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni
1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung
dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah
(boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
b. Bayi tabung dari
pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari
isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah
Sadd az-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan
ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
c. Bayi tabung
dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya
dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang
sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya
haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di
luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ),
yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
2. Nahdlatul
Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait
masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981.
Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung:
a. Pertama,
apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal
itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam
pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
b. Kedua, apabila
sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya
tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU
dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU
mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki
berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka
hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
c. Ketiga,
apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya
termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum
bayi tabung menjadi mubah (boleh).
3. Ulama
Saudi Arabia
Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia,
disebutkan bahwa Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah
dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa
pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan
terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani
yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya. Menurut
pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab
Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:
Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS.
42:50)
4. Majelis
Mujamma’ Fiqih Islami
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami ini menetapkan sebagai
berikut:
Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang
sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak
orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan
kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita
disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan
tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam
rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal
dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut
diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim
istrinya yang lain.
Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika
memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang
harus dilakukan, sebagai berikut:
a. Sperma tersebut diambil dari si suami dan
indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya.
b. Sperma si suami diambil kemudian di
suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya
untuk disemaikan.
Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu
diperhatikan dalam masalah ini adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga
(tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma
dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu
diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang
lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun
indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia.
Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat.
5. Syaikh
Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah
wal jamaah berpendapat lain, beliau berpendapat sebagai berikut : “Tidak boleh,
karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi
minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat
aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan
syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sementara
tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki
memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang
berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun
tidak boleh. Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap
peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau
(sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan
keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara
alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan
ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk
mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih
lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam
mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).
6. Ulama
di Malaysia
Ulama di Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan
Islam Malaysia memberi fatwa tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan
sebagai berikut:
Keputusan
1
a. Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri
yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih
yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu
boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. Sekiranya benih dari suami atau
isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka
ianya dikira sebagai cara terhormat.
Keputusan
2
a. Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri
yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih
yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu
boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. .Sekiranya benih dari suami atau
isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka
ianya dikira sebagai cara terhormat.
Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz)
menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang
disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan
salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa
Nabi SAW telah bersabda :
“Menikahlah
kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya
aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada
Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa
Rasulullah saw telah bersabda :
“Menikahlah
kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan
membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)
Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk
mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak
berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar
tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma
suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi
kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya
sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa
yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya
pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah
tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri,
antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya. Dalam proses pembuahan
buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel
sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri
yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada
rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi
diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut
sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya
bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami
dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya
diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses
pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur
isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim
isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum
Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang
telah diharamkan oleh ajaran Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA
bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :
“Siapa
saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan
dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan
Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki
yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah
akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang
yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Siapa
saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak)
bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari
Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan
dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi
penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang
menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan
tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan
hakim (qadli).
G. Dalil tentang
Program Bayi Tabung
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh
berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam
menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang
diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah
hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan
kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan
ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya
kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan
kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah
ajaran-Nya.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam
termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara
spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik
sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam,
maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para
ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan
prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum
Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan
pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari
berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang
benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan,
biologi, hukum, agama dan etika.
Bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan
persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri
sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam
vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar
rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka
hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan
inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al
dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti
keadaan darurat).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang namanya
inseminasi buatan/bayi tabung/athfaalul anaabib itu masih menjadi perdebatan
[ublik khususnya di Negara Indonesia ini, meski kita tahu para pakar islam
telah menetapkan dalam fatwanya mengenai bayi tabung itu diperbolehkan bila
sperma-ovum berasal dari pasangan suami-istri yang sah. Namun alangkah baiknya
juga bila kita senantiasa memelihara dan menjaga kesehatan organ
vital/reproduksi kita masing-masing demi kelangsungan generasi ke depan. Perlu
menjadi catatan disin bahwa bayi tabung tealh berkembang pesat di barat, tetapi
bukan untuk mencari jalan keluar bagi pasangan suami-istri yang tidak bisa
mempunyai anak secara normal, tetapi mereka mengembangkan untuk proyek-proyek
maksiat yang diharamkan didalam islam, bahkan mereka benar-benar telah menghidupkan
kembali pernikahan yang pernah dilakukan orang-orang jahiliah Arab sebelum
kedatangan islam, yaitu para suami menyuruh para istri untuk datang kepada
orang-orang yang dianggap cerdar dan pintar atau pemberani agar mereka mau
menggauli para istri tersebut dengan tujuan anak mereka ikut menjadi cerdas dan
pemberani. Hal sama telah dilakukan di Amerika dimana mereka mengumpulkan
sperma orang-orang pintar dalam bank sperma, kemudian di jual kepada siapa yang
menginginkan anaknya pintar dengan cara bayi tabung/inseminasi buatan. (DR.
Muhammad Ali Bar, At-talqih AS sina’i wa athfal Al Anabib dalam Majalah
Al-majma’ Al-fiqh al-islami, edisi 2 : 1/269). Mudah-mudahan umat islam
dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rosul-Nya dan memilih
cara inseminasi buatan ini hanya dalam keadaan sangat darurat, itu[un pada
bagian yang diperbolehkan saja sebagaimana telah diterangkan di atas.
Wallahu A’lam. (Dr. Ahmad Zain An Najah).
DAFTAR
PUSTAKA
Majelis
Ulama Indonesia, Surat Keputusan MUI Nomor : Kep-952/MUI/XI/1990 Tentang
Inseminasi dan Bayi Tabung
Fathurin
Zen, “Suatu Tinjauan Dari Segi Hukum Mengenai Status Bayi Tabung”, Skripsi
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum – Universitas Islam Jakarta, 1990
Masjfuk Zuhdi. 1989. Masail Fiqiyah.
Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar